“Namiraaa…. Namiraa…“
Seorang
wanita dengan langkah tergesa mengusik riuh sorak tawa anak-anak di tengah
tanah lapang yang luas. Wajahnya tak bersahabat, kain rok yang membalut tubuh sintalnya tak urung Ia gulung agar langkahnya lebih
cepat.Gadis kecil yang disebut namanya itu segera meletakkan mainan yang amat
dibenci sang Ibu.
“Harus berapa kali lagi ibu bilang Mira, anak
perempuan jangan main layangan. Mau dihukum gimana lagi hah.. gak kapok ya?”
dengan gemas Ibu menjewer kuping Namira, spontan gadis enam tahun ini mengaduh
seraya memohon ampun. Ayah yang juga berada di sana bersama kedua kakak Namira,
Rasyid dan Adam segera mendekat.
“Sudah..
sudah… Ibu jangan keterlaluan, Namira kan hanya main layangan, bukan bertengkar
atau mencuri. Kenapa harus dijewer? Lepaskan !” belanya sambil merebut paksa
Namira. Tak terima Namira mendapat pembelaan, Sulastri semakin menjadi aralnya.
“Ayah ini gimana sih? Namira kan anak perempuan, harusnya ada di rumah bantu
pekerjaan Ibu. Bukan main bercampur sama anak lelaki!”
“Namanya
juga anak-anak Bu, biarkan dia menikmati masanya” tukas Teuku, tak ingin
perdebatan dengan istrinya menjadi tontonan anak-anak lain, Ia segera meredakan
suasana, dipanggilnya kedua kakak Namira, Rasyid dan Adam untuk pulang. Petang
membayang meneduhi iring-iringan keluarga kecil ini kembali ke peraduan dalam
diam hampa kata.
Namira
kecil selalu ingin tahu, aktif dan cerdas. Namun dibalik segala kelebihan yang
dimiliki Namira mengundang kekhawatiran Sulastri sebagai Biyang yang
melahirkannya, Ia takut Namira tumbuh melebihi kemampuan kedua kakaknya.
Di
tengah makan malam. “Kenapa hanya Namira yang gak boleh main layangan ?” Namira
kembali teringat kekesalannya sore itu. Celotehnya mengusik kebisuan. Ibu
menaruh sendoknya di samping piring. Menyudutkan Namira dengan tatapan tajam. “Karena
kamu anak perempuan, gak baik melakukan permainan anak lelaki” ucap Ibu.
“Ini
kan hanya permainan kecil Bu, tak usah terlalu dipermasalahkan” Ayah angkat
bicara, Ia melayangkan senyuman pada putri yang amat cintai. Namira mengiyakan.
Rasyid dan Adam hanya diam, saling melempar
pandangan kosong
“Justru
kita harus memperhatikan hal-hal kecil Yah, kalau tidak kelak Ia akan
menyepelekan hal besar, Mira tetap anak perempuan, dia berbeda dengan Rasyid
dan Adam”. Ibu menganggap dirinya benar. Sebagai wanita Jawa, Sulastri dikenal
wanita yang teguh pada prinsip.
“Kalau
gitu Mira mau jadi anak laki-laki saja, biar bisa main layangan sama abang!,
Mira bosen main di rumah terus”. Polos lisannya berucap. Ayah hanya tersenyum,
Rasyid dan Adam tertawa kecil. Mata Ibu melotot padanya dan Namira tahu apa yang harus Ia lakukan.
Diam adalah pilihan, walau timbul pertanyaan di otak kecilnya. Apa salahnya
menjadi anak perempuan?
***
Namaku
Namira Jasmine, perempuan tercantik setelah Ibu, kata Ayah.
Tak
ubahnya remaja SMA, aktivitasku tak jauh dari belajar, tugas sekolah dan organisasi.
Orang bilang aku berbeda. Entah yang mereka maksud beda seperti apa. Menginjak
usia remaja, aku sudah dilibatkan dalam usaha keluarga yang menyita banyak
waktu bermain remaja seusiaku.
Dari
sebelum subuh, aku bangun, membereskan rumah, sekolah, mengajar ngaji anak-anak
kecil dan membantu Ibu memasak di warung makan. Terkadang aku capek menyembunyikan
cemburu dalam-dalam pada Abang Rasyid dan Mas Adam yang tak pernah dibebani
tugas sepertiku.
Abang
Rasyid terbang mengejar mimpinya di Kairo, aku tak heran melihatnya sangat pintar.
Berbagai privat dan bimbel Ia ikuti atas dorongan usaha Ibu. Karena kesuksesannya
itu, Ibu semakin sering menyebut nama Rasyid dan Kairo, terutama saat
berhadapan dengan banyak orang. Kupingku panas – mengapa Ibu hampir tak pernah
bangga denganku?
Aku
tak benar-benar yakin apakah aku anak yang dilahirkan dari rahimnya?, Wanita yang secara tidak langsung mengubur asaku
sebagai perempuan seutuhnya. “Anak perempuan kok bangunnya siang? Disuruh masak
aja susah? Ini badan apa gentong air ? perempuan harus pintar ngerawat diri
ndok biar ayu “. Seolah tak pernah ada yang tak salah dariku. Hal kecil akan
menjadi besar jika Ia sudah angkat bicara.
“Namira … cepat siapkan makan untuk Ayah, Mira
pel lantainya yang bersih, Mira ini sayurnya keasinan, Mira…. Mira… “
lengkingan Ibu tak pernah absen sesakkan ruang kamarku yang sempit. Ibu seakan
takut aku tak bisa tumbuh menjadi wanita yang
sempurna, wanita yang dibeli dengan harga mahal semata untuk melayani
suaminya.
Dua
hari lalu, kabar gembira datang. Sepucuk surat dari Abang Rasyid mengharu biru
di tengah-tengah kami, terutama bagi Ibu . Tak butuh waktu lama, huru hara
kesuksesan Abang di Kairo menjadi hot
news warga kampung. Membuat dada Ibu
kian membusung, dan aku semakin tak ada artinya.
Ditanya
tentang mimpi, aku ingin sekali menyusul kuliah di Kairo. Dalam bisik ayal
berkata “Aku harus bisa sukses seperti Abang”, menjadi guru bahasa Arab.
Mimpi~
ah itu kan hanya mimpi, yang akan sirna saat ku terbangun. Iya memang, aku tahu
dimana dan kemana kelak akan kembali. Di tempat ini, di dapur inilah tempatku kembali. Tapi apakah
benar tidak ada ruang untukku hanya sekedar bermimpi lebih dari itu?
“Namira,…
“ lengkingan itu terdengar lagi, sampai aku hafal di luar kepala isyarat setiap
perintahnya . Lengkingan itu membuyarkan lamunanku yang tengah melambung di
atas awan. Segera kuhampiri dirinya di dapur. “Kenapa Bu?”
“Anak-anak
sudah menunggumu di mesjid” ucapnya tanpa menolehku. Tubuh wanita itu lelah ~
aku dapat melihat dari caranya berjalan. Lunglai langkahnya. Ah Ibu, jika aku
telah sukses, takkan kubiarkan kau bersusah payah menyiapkan makan untuk orang
lain. Ibu, betapa aku mencintaimu andai saja kau dengar pekik hatiku.
Seharian
membantu Ibu, lelahku terbayar hanya dengan senyum anak-anak saat belajar
mengaji di serambi surau bernama Al Falah. “Alif patah a, Alif kasroh i, Alif
dhommah u, dibaca… a i u… “ anak-anak ini mengikutiku dengan khidmat, tak
jarang celotehan lucu terlontar dari mulut kecilnya. Manja .
Tak
lama, motor Ayah dan Mas Adam berhenti di halaman rumah, tidak jauh dari
pandanganku. Wajah keduanya merona, Mas Adam turun dengan tergesa dengan
secarik amplop coklat di tangannya, lalu masuk ke dalam rumah disusul ayah. “Ada
apa?” bisik naluriku. Sejenak kuhentikan mengajar, lalu bergegas ke rumah.
Pintu
kubuka, nampak Ayah, Ibu dan Mas Adam berangkulan. Hanya isak tangis yang ku
dengar sangat jelas. Hati bertanya “Kenapa ini?” Bukannya tadi mereka datang dengan wajah
sumringah.
“Ayah?”
tanyaku. Serentak enam pasang mata menoleh ke arahku. Melepaskan rangkulannya.
Ayah menyeka air matanya dengan handuk kecil yang menggantung di pundak. Mas
adam menatapku, lalu berjalan mendekat. “Namira, Mas bawa kabar gembira” tangan
kekarnya berlabuh dipundakku.
“Apa
mas?” aku penasaran. “Mas Adam akan kuliah di Jepang Mira, di Jurusan IT. Seperti
impian Mas” matanya melebar, bangga dan haru nampak jelas di antara bening
matanya yang dipenuhi kepingan zat bening.
“Jepang
Mas?” tanyaku tak percaya. Ia mengiyakan.
Entah
– apa harus diucap. Yang ingin aku lakukan adalah menangis. Tapi menangis karena apa
akupun tak tahu.
Hariku
menjadi abu sejak hari itu, kehilangan ialah hal yang amat ku benci.
“Namira,
Mas berangkat ya”. Mas Adam membangunkanku yang masih berkabut luka di balik
selimut wol merah marun. Hari masih sangat pagi.
“Mau
kemana Mas? Kan masih pagi” aku menggosok-gosokkan mata, memastikan
penglihatanku tidak salah. Pukul dua dini hari. Ia menatapku heran, “Kan hari
ini Mas mau berangkat ke Jepang. Lupa ya? Hehehe “. Ringan – Ia tertawa.
Lupa?
Iya, aku sengaja melupakannya. Biar pedih hanya sekali saja menusuk, saat perpisahan
itu benar terjadi. Dan mimpi burukku benar terjadi. Mas Adam akan pergi. Aku tak ingin melewatkan kesempatan itu.
Segera ku bangkit, merangkul Mas Adam
yang masih mematung di samping tempat tidur.
“Mira…
kamu kenapa?” Ia heran saat aku merangkulnya, Hal yang hampir tiga belas tahun tidak pernah aku
lakukan lagi padanya.
“Mira
sayang Mas Adam, Mira janji gak akan merepotkan Mas, Aku minta maaf ya Mas”
tangisku pecah di pundaknya.
“Mira
kenapa? Jangan nangis “ Ia melepas rangkulanku dan menyeka air mata yang begitu
saja membuncah tanpa arah.” Mira Adik terbaik Mas, Mas gak pernah merasa
direpotkan. Kenapa harus minta maaf?”
“Jangan
pergi Mas, Mira gak mau ditinggal. Cukup Abang Rasyid saja yang pergi” tak
ubahnya seorang anak TK yang kehilangan boneka, aku merengek di hadapnya. Mas
Adam seperti merasakan sesakku. Matanya sembab. Dalam hitungan detik, Ia
terdiam. Mungkin mencoba menunjukan sisi tegarnya.
“Mira,
Mas juga berat meninggalkanmu. Mas tidak akan berangkat jika saja Ayah, Ibu tidak mengizinkan. Tapi
tekad Mas sudah bulat, Mas ingin terbang menggapai mimpi. Dan akan pulang
membawa hasil terbaik, ini untuk Mira juga”. Bijaksana kata-kata yang keluar
dari lisannya. Aku diam, dalam asa yang kini
bergelut tanpa arah sungguh terasa menyakitkan. Perpisahan itu tak mungkin dicegah.
Pesan terakhir Mas Adam, lirih ku dengar. Namun pekat
mengena ruang hati terdalam. “Jika Mira rindu Mas, berlarilah ke tanah lapang.
Bawa layang-layang ini dan terbangkan semampu Mira. Jika layang-layang itu
telah mengudara, tataplah dalam-dalam. Kau akan menemukan wajah Abang dan Mas
di sana. Tersenyum menyapamu”.
Tetesan embun menyapa di balik kaca jendela. Sebanyak itulah
~ aku meradang usai kepergiannya.
***
“Ah..
kenapa susah?” kesabaran Namira hampir habis. Layangannya tak mau terbang
tinggi, Ini terlalu payah untuknya.
“Percuma,
kamu perempuan. Menyerahlah” lengkingan ucapan Ibu terekam kembali dalam memori
Namira. Hempas angin membawa lamunannya memutar jarum jam. Masa dimana ada Rasyid
dan Adam di sampingnya. Berpura-pura menerbangkan layangan Namira agar Ia
senang.
“Dik
coba lihat, layanganmu terbang tinggi. Kau wanita hebat. Ayo ulurkan lagi
benangnya… ayo.. ayo… “ Begitu jelas senyum tawa Rasyid dan Adam kembali di
pelupuk mata Namira, dua jagoan
kebanggaan Ayah dan Ibu.
Namira
masih mengutuki kepayahannya. Tubuhnya rubuh menyentuh tanah. Seolah beban
dipundaknya terlalu berat untuk Ia paksakan berdiri. Namira menungkupkan tangan
ke wajahnya, Ia menangis.
Suara
langkah kaki datang mendekat. Dari sepasang sepatu karet, pikirnya. Disusul
goncangan bunyi benda keras dari ranselnya – mungkin sebuah gantungan
resleting.
“Abang
Rasyid, kaukah itu?” Namira terperangah, menatap sosok yang telah berdiri di
hadapnya. Seorang lelaki tinggi kekar, bercambang di kedua sisi wajahnya. Lelaki
bermata biru itu tersenyum padanya, mengulurkan tangan untuk membantu Namira berdiri. Tidak—Namira menolak
bantuan itu.
Ia
tetap tersenyum dengan penolakan Namira. “Layanganmu tidak bisa terbang tinggi
ya? Mau aku bantu?” ucapnya santai
“Siapa
kau? Jangan-jangan kau telah
menginpeksiku sejak tadi?
“Tidak
, aku hanya melihat seorang wanita cantik menangisi layangannya”
“Jika
kedatanganmu hanya untuk mengejekku, sebaiknya pergi dari hadapanku. Kau tak
ubahnya kebanyakan orang yang memandangku rendah hanya karena aku seorang
wanita!!” desus kemarahan mengalir dari nafas Namira .
“Tidak
Namira, kau jangan salah paham. Aku tak ada maksud buruk padamu”. Ia menyesali
ucapan pertamanya. “Kau marah padaku?, aku minta maaf” lanjutnya.
“Aku
tidak marah padamu, aku marah pada diriku yang payah ini”
“Payah
? Karena tidak bisa menerbangkan layang-layang ini?” tanyanya.
Namira menoleh, Ia mulai bersimpatik
pada sosok yang baru itu. “ mungkin iya”.
Rehan—nama
lelaki itu, Mira sangat senang saat tahu
bahwa Ia sahabat dekat Rasyid di Kairo. Wajahnya memang tidak jauh
berbeda dari Rasyid jika saja cambang itu tidak ada. “Layang-layang tak harus terbang tinggi agar
Ia terlihat hebat, Ia takkan pernah sehebat burung yang memang ditakdirkan
memiliki bersayap, Ia bisa terbang tinggi kemanapun Ia mau” ucap Rehan saat
mengajari Namira menerbangkan layang-layang. Namira tertunduk – diam tak
berucap. Rehan memancing agar Namira mau berkata.
“Tapi Abang Rasyid dan Mas Adam bisa, mereka
hebat.Kenapa aku gak bisa ?”
“
Kau kan perempuan, ini bukan pekerjaanmu. Kau tak perlu merasa payah, dan
terpaku hanya karena tak mampu melakukan satu hal. Kau dapat terlihat hebat
dengan pekerjaan dimana seharusnya kau berada, memasak misalnya… heheh “ Rehan
mencoba mencairkan suasana tegang yang tercipta sejak awal.
“Kau
mau mencobanya?” Rehan menyerahkan benang layangan ke tangan Namira. Gadis itu
tampak senang. Dengan sabar Rehan mengajarinya. Ia senang melihat Namira dapat
tertawa lepas.
“Kau
tidak kuliah Namira?” ucap Rehan mengalihkan pembicaraan.
“Ayah
dan Ibu tidak mengizinkan aku menyusul
Abang Rasyid, padahal bulan lalu aku lolos seleksi kuliah ke Kairo tapi di
kampus yang berbeda dengan Abang”
“Kenapa?”
“Karena
aku perempuan, Ayah Ibu khawatir
melepaskanku, gak adil kan?” Namira mencoba merebut simpatik Rehan.
“Bukan,
maksudku kenapa tidak kuliah di kampus yang dekat rumah saja. Ayah dan Ibumu pasti mengizinkan”.
Namira sedikit kecewa dengan jawaban Rehan.
“Enggak
ah, masih ingin berusaha kuliah di luar
negeri. Aku malu, kedua kakakku saja bisa. Kenapa aku tidak? Semua orang punya
hak yang sama untuk sukses bukan?”. Rehan terdiam—memutar akal bagaimana
menjawab pernyataan gadis itu. Namira tak terkendali, Ia sangat terobsesi untuk
terbang tinggi. Diulurnya benang layangan itu hingga hampir tak bersisa di
gulungan.
“Mira
jangan terus diulur, tarik sedikit demi sedikit benangnya, kalau gak dia akan
hilang kendali “
“Layanganku
terbang tinggi kak… yeahhh…. Ayo terus terbang… layang-layangku terbanglah..
bawa cita, cinta dan bahagia ke pelukanku” Namira terus bersorak, bernyanyi
kecil dan larut dalam tawa yang lepas.
“Namira
tarik benangnya… Mira…” Rehan terus mengomandoi dari sampingnya. Namira tak
menghiraukan.
“Kak…
ini gimana?” layangan Namira mulai tak
terkendali, terseok terbawa angin. Rehan mencoba membantunya, namun benang yang
diulur Namira terlalu panjang untuk ditarik. Ia sulit dikendalikan, lalu ….
benang layangan itu putus tergesek cabang ranting pohon randu yang tajam. “Yah…
Kak.. layanganku…” Namira kecewa. Ia menyesali perbuatannya yang ceroboh.
Rehan
hanya tersenyum. Lalu menjatuhkan dirinya di tanah, pun Namira ikut duduk di
sampingnya. Namira tertunduk, mengusap-usap telapak tangannya yang tergores
benang tajam. Rehan mengalihkan perhatiannya pada tangan Namira.
“Kau
tahu Mira, layang-layang tadi telah mengajari kita banyak hal”
Namira
menoleh , “Oh ya, apa? Kok Mira gak tahu”
“Jika
ibaratkan layangan itu adalah anak, dan yang memainkannya adalah orang tua.
Maka seperti itulah orang tua mendidik kita, ada kalanya mengulur dan ada
saatnya untuk menarik kembali”
“Aku
gak mengerti Kak?”
“Ibarat
apa yang dilakukan Ibumu dulu, mengapa Ia tak suka kau bermain layangan karena
memang itu bukan pekerjaanmu, itulah mengapa kau ditarik untuk mengerjakan
pekerjaan rumah. Tapi orang tuamu tidak melarang untuk kuliah kan? Ia membebaskan
untuk memilih. Hanya saja mereka terlalu khawatir kau jauh dari jangkauannya.
Mereka takut kamu berakhir menjadi layangan putus tadi yang terbawa arus terbang tanpa arah, tak terkendali dan kita
tak tahu akhirnya menjadi apa. Mungkin tersangkut, terbawa arus sungai atau
bahkan berakhir menjadi sampah di udara” ucap Rehan panjang lebar. Namira tidak
menolehnya, diam membisu dalam heningnya.
“Namira
percayalah, tidak ada yang menganggapmu rendah sebagai wanita. Kau sangat
istimewa. Bersyukurlah menjadi wanita, makhluk yang dicipta untuk dilindungi
dan disayangi karena kelemahannya” .Rehan menatap lekat wajah Namira. Tangannya
tak mampu hanya diam menyaksikan cairan bening mengalir di wajah gadis itu.
Disodorkannya sebuah sapu tangan, Namira menerimanya dengan malu.
“Aku
antarkan kamu pulang ya, Ibu menunggumu dengan cemas di rumah”
***
Namira
baru saja mendapat pelajaran berharga dari sebuah layang-layang. Tentang
misteri hidup yang tak pernah mampu Ia pecahkan sendiri.
Setibanya
di halaman rumah. Namira heran menyaksikan lalu lalang orang di sana. “Ada apa
ini?” Namira berlari menerobos kumpulan orang. Ayah yang sedang berdiri di
depan kamar langsung merangkul Namira begitu Ia datang. Ayah menangis.
“Kenapa
Yah? Kenapa banyak orang di rumah kita?”
“Ibumu
Nak.. “ Ayah membawa Namira masuk ke kamar. Dihadapnya, seorang wanita
terbaring lemah di atas ranjang beralaskan sprei hijau muda yang Ia ganti tadi
pagi. Hampir seperempat tubuhnya melepuh. Dadanya bernafas tak beraturan, Ia
mengaduh dengan mata terpejam.
“Ibu…
Ibu kenapa?” Namira bersimpuh di samping Ibu. Digenggamnya tangan itu, tangan
yang selalu Ia cium penuh hormat. Tangan wanita yang telah mengangkatnya ke
dunia. Namira tak mampu menahan pilu. Diusapnya rambut yang mulai memutih itu.
“Ibumu
tersiram minyak panas saat sedang memasak tadi Mira” Ayah ikut terseguk-seguk.
“Ayah
bawa Ibu ke rumah sakit “ Mira
mengguncang-guncangkan tangan Ayah.
“Mira..
Namira sini ..” lirih suara Ibu berucap. Air mata deras mengalir dari matanya
yang Ia paksakan terbuka. “Mira, Ibu takut” lanjutnya
“Kenapa
Ibu takut, ada Mira di sini Bu. Mira akan jaga Ibu” Namira menempelkan wajahnya di pipi Ibu, Ia
ingin merasakan betapa hangatnya pipi itu.
“Mira
Ibu takut berhutang kebahagiaan padamu, Mira… Ibu telah banyak menyulitkan
mimpi-mimpimu. Maafkan Ibu ya…”
“Ibu
tak pernah salah, Mira yang tak pernah bisa membuat Ibu bangga. Mira benci
menjadi wanita. Mira tidak bisa sehebat Abang dan Mas. Mira hanya bisa
menyakiti perasaan Ibu. Ampuni Mira Bu… Mira mohon Ibu bertahan yah” .Waktu
terasa begitu sempit bagi Namira. Hanya dentingan jam dinding dan detak jantung
Ibu yang terdengar begitu pelan.
“Tidak
Mira, justru kaulah yang paling berharga, kaulah satu-satunya wanita hebat yang
kelak akan menggantikan Ibu Nak. Susullah Abangmu ke Kairo, kejar mimpimu agar
Ibu tak meninggalkan hutang padamu”
“Ibu…
tidak akan. Tidak akan Mira pergi meninggalkan Ibu, Mira tetap di sini
menjagamu, Mira mohon Ibu jangan berkata-kata lagi, kita harus segera ke rumah
sakit”. Ibu menggelengkan kepalanya. Diraihnya tangan Rehan yang berdiri di
samping Namira.
“Nak
Rehan, bantulah layang-layang Namira terbang tinggi. Bawalah cita, cinta dan
bahagia ke pelukannya. Ibu yakin, kaulah lelaki terbaik untuk disampingnya.
Dialah perhiasan paling berharga bagi kami, yang hanya bisa dibeli dan dimiliki
atas dasar cinta pada Allah”. Namira menjerit, saat nafas terakhir Ibu
dihembuskan. Dengan lancar lisannya mengucap lafadz tauhid. Untuk kesekian
kalinya Namira kehilangan.
***
Sore hari dalam perjalanan spiritual
di Makkah
Ragaku
tersungkur bersujud penuh syukur. Dalam kedamaian rumah Allah, tanganku
menengadah memohon ampun. Decak syukur berhembus dalam setiap aliran nafasku.
Kepergian Ibu menyisakan luka teramat dalam. Terutama bagi Ayah, lelaki yang
seiring bertambah batang usianya tak pernah lelah meniti hari.
“Namira,
Ayah ke hotel duluan ya. Biar Rehan yang menemanimu menikmati suasana tempat
ini” Ayah tersenyum padaku, sepertinya Ia juga merasakan kebahagiaan yang sama.
“Perlu Mas Rehan antar Yah?” tanyaku, Ayah menggelengkan kepala.
Rehan
datang menemuiku, baju putih yang Ia kenakan membuat wajahnya makin bercahaya.
“Aku temanimu jalan-jalan sekitar mesjid sini yuk “ Ia tersenyum padaku. Aku
membalasnya dengan anggukan iya. Kami duduk di tangga mesjid. Rehan memancingku
dengan candaannya. “Namira, kau tahu nama mesjid ini apa?” Ia menunjukan
jarinya ke tulisan arab di dinding mesjid itu.
“Mesjid
namirah kan?”
“Iya
betul, kau tahu kalau namamu di ambil dari nama mesjid ini?” ucap Rehan
memancing ingatanku. Aku menggeleng “Ibumu yang memilihkan nama itu untukmu,
dengan harapan kau tumbuh menjadi wanita baik , suci dan mulia . Seperti mesjid
ini”
Rehan
tahu banyak tentangku, benar yang dikatakan Ibu. Dia lelaki yang baik.
“Eh
sudah sore, pulang yuk. Besok kita kan harus mengurus surat-surat kuliah kamu”.
Rehan bangkit dari duduknya.
“Mas,
Mira ak usah kuliah deh. Mira udah merasa cukup bahagia dengan hidup Mira
sekarang. Mira mau jadi seperti Ibu saja,merawat rumah dan mengurus anak-anak”
Rehan
mengerutkan dahinya “Gak apa-apa Namira,
aku ikhlas kamu kuliah. Dan satu lagi, bukan cuma kamu yang akan mengurusi
rumah dan mengurus anak-anak, tapi kita. Kau dan aku. Pokoknya kamu tetap kuliah,
ini pesan Ibu”
“Tapi
bukannya kamu pernah bilang. Layang-layang tak harus terbang tinggi agar Ia
terlihat hebat. Aku tetap bahagia walau hanya berada di rumah menemanimu”
“Tapi
layang-layang yang ini berbeda. Aku yang memainkannya, Insya Allah tidak akan
putus seperti layanganmu dulu…hehehhe “ Godanya.
“Ihhh….
Ngeledek yah…” Rehan terpingkal saat aku mencubit tangannya. Tak ada yang harus
diresahkan, inilah kesempatan. Petang membayang, aku dan rehan pulang
meninggalkan mesjid Namirah. Aku berjalan melewati tiga orang wanita bercadar.
Mereka berbisik perlahan, perempuan pertama berkata “Eh itu kan Namira Jasmine
“, lalu perempuan kedua menimpali “Siapa dia?”, Wanita pertama menjawabnya
“Dialah wanita yang dibeli seorang lelaki shalih atas dasar cinta kepada Allah”.
Perempuan ketiga menanggapi “Iya benar, dia wanita yang taat beribadah, mencintai
dan menghormati orang tua serta menjaga
kehormatannya. Semoga Allah melimpahkan rahmat kepada Ia beserta keluarganya,
dan menjadikannya bidadari syurga ” . Mendengar percakapan itu aku segera
berhenti dan menoleh ke arahnya.
“Kenapa
Dik?” tanya Rehan. “Kamu lihat tiga perempuan di sana tidak?”
Rehan
mencoba menajamkan pandangannya menusuri petunjuk jariku, lalu tertawa “Itukan
hanya patung pohon kurma Namira, ah wanita hamil memang suka berhalusinasi,
mungkin kamu terlalu capek . Kita pulang saja ya”.
Rehan sama sekali tidak melihat ketiga
perempuan itu. Mungkin mereka adalah jelmaan bidadari syurga, pikirku. Jika
iya. Semoga Allah mengabulkan do’anya .amin()
" Menyentuh " :)
BalasHapus