Jumat, 25 Juli 2014

Wanita Yang Dibeli


“Namiraaa…. Namiraa…“
Seorang wanita dengan langkah tergesa mengusik riuh sorak tawa anak-anak di tengah tanah lapang yang luas. Wajahnya tak bersahabat,  kain rok yang membalut tubuh sintalnya  tak urung Ia gulung agar langkahnya lebih cepat.Gadis kecil yang disebut namanya itu segera meletakkan mainan yang amat dibenci sang Ibu.
“Harus  berapa kali lagi ibu bilang Mira, anak perempuan jangan main layangan. Mau dihukum gimana lagi hah.. gak kapok ya?” dengan gemas Ibu menjewer kuping Namira, spontan gadis enam tahun ini mengaduh seraya memohon ampun. Ayah yang juga berada di sana bersama kedua kakak Namira, Rasyid dan Adam segera mendekat.
“Sudah.. sudah… Ibu jangan keterlaluan, Namira kan hanya main layangan, bukan bertengkar atau mencuri. Kenapa harus dijewer? Lepaskan !” belanya sambil merebut paksa Namira. Tak terima Namira mendapat pembelaan, Sulastri semakin menjadi aralnya. “Ayah ini gimana sih? Namira kan anak perempuan, harusnya ada di rumah bantu pekerjaan Ibu. Bukan main bercampur sama anak lelaki!”
“Namanya juga anak-anak Bu, biarkan dia menikmati masanya” tukas Teuku, tak ingin perdebatan dengan istrinya menjadi tontonan anak-anak lain, Ia segera meredakan suasana, dipanggilnya kedua kakak Namira, Rasyid dan Adam untuk pulang. Petang membayang meneduhi iring-iringan keluarga kecil ini kembali ke peraduan dalam diam hampa kata.
Namira kecil selalu ingin tahu, aktif dan cerdas. Namun dibalik segala kelebihan yang dimiliki Namira mengundang kekhawatiran Sulastri sebagai Biyang yang melahirkannya, Ia takut Namira tumbuh melebihi kemampuan kedua kakaknya.
            Di tengah makan malam. “Kenapa hanya Namira yang gak boleh main layangan ?” Namira kembali teringat kekesalannya sore itu. Celotehnya mengusik kebisuan. Ibu menaruh sendoknya di samping piring. Menyudutkan Namira dengan tatapan tajam. “Karena kamu anak perempuan, gak baik melakukan permainan anak lelaki” ucap Ibu.


“Ini kan hanya permainan kecil Bu, tak usah terlalu dipermasalahkan” Ayah angkat bicara, Ia melayangkan senyuman pada putri yang amat cintai. Namira mengiyakan.
 Rasyid dan Adam hanya diam, saling melempar pandangan kosong
“Justru kita harus memperhatikan hal-hal kecil Yah, kalau tidak kelak Ia akan menyepelekan hal besar, Mira tetap anak perempuan, dia berbeda dengan Rasyid dan Adam”. Ibu menganggap dirinya benar. Sebagai wanita Jawa, Sulastri dikenal wanita yang  teguh pada prinsip.
“Kalau gitu Mira mau jadi anak laki-laki saja, biar bisa main layangan sama abang!, Mira bosen main di rumah terus”. Polos lisannya berucap. Ayah hanya tersenyum, Rasyid dan Adam tertawa kecil. Mata Ibu melotot padanya  dan Namira tahu apa yang harus Ia lakukan. Diam adalah pilihan, walau timbul pertanyaan di otak kecilnya. Apa salahnya menjadi anak perempuan?
***
Namaku Namira Jasmine, perempuan tercantik setelah Ibu, kata Ayah.
Tak ubahnya remaja SMA, aktivitasku tak jauh dari belajar, tugas sekolah dan organisasi. Orang bilang aku berbeda. Entah yang mereka maksud beda seperti apa. Menginjak usia remaja, aku sudah dilibatkan dalam usaha keluarga yang menyita banyak waktu bermain remaja seusiaku.
Dari sebelum subuh, aku bangun, membereskan rumah, sekolah, mengajar ngaji anak-anak kecil dan membantu Ibu memasak di warung makan. Terkadang aku capek menyembunyikan cemburu dalam-dalam pada Abang Rasyid dan Mas Adam yang tak pernah dibebani tugas sepertiku.
Abang Rasyid terbang mengejar mimpinya di Kairo, aku tak heran melihatnya sangat pintar. Berbagai privat dan bimbel Ia ikuti atas dorongan usaha Ibu. Karena kesuksesannya itu, Ibu semakin sering menyebut nama Rasyid dan Kairo, terutama saat berhadapan dengan banyak orang. Kupingku panas – mengapa Ibu hampir tak pernah bangga denganku?
Aku tak benar-benar yakin apakah aku anak yang dilahirkan dari rahimnya?,  Wanita yang secara tidak langsung mengubur asaku sebagai perempuan seutuhnya. “Anak perempuan kok bangunnya siang? Disuruh masak aja susah? Ini badan apa gentong air ? perempuan harus pintar ngerawat diri ndok biar ayu “. Seolah tak pernah ada yang tak salah dariku. Hal kecil akan menjadi besar jika Ia sudah angkat bicara.
 “Namira … cepat siapkan makan untuk Ayah, Mira pel lantainya yang bersih, Mira ini sayurnya keasinan, Mira…. Mira… “ lengkingan Ibu tak pernah absen sesakkan ruang kamarku yang sempit. Ibu seakan takut aku tak bisa tumbuh menjadi wanita yang  sempurna, wanita yang dibeli dengan harga mahal semata untuk melayani suaminya.
            Dua hari lalu, kabar gembira datang. Sepucuk surat dari Abang Rasyid mengharu biru di tengah-tengah kami, terutama bagi Ibu . Tak butuh waktu lama, huru hara kesuksesan Abang  di Kairo menjadi hot news warga kampung. Membuat dada   Ibu kian membusung, dan aku semakin tak ada artinya.
            Ditanya tentang mimpi, aku ingin sekali menyusul kuliah di Kairo. Dalam bisik ayal berkata “Aku harus bisa sukses seperti Abang”, menjadi guru bahasa Arab.
            Mimpi~ ah itu kan hanya mimpi, yang akan sirna saat ku terbangun. Iya memang, aku tahu dimana dan kemana kelak akan kembali. Di tempat ini, di  dapur inilah tempatku kembali. Tapi apakah benar tidak ada ruang untukku hanya sekedar bermimpi lebih dari itu?
“Namira,… “ lengkingan itu terdengar lagi, sampai aku hafal di luar kepala isyarat setiap perintahnya . Lengkingan itu membuyarkan lamunanku yang tengah melambung di atas awan. Segera kuhampiri dirinya di dapur. “Kenapa Bu?”
“Anak-anak sudah menunggumu di mesjid” ucapnya tanpa menolehku. Tubuh wanita itu lelah ~ aku dapat melihat dari caranya berjalan. Lunglai langkahnya. Ah Ibu, jika aku telah sukses, takkan kubiarkan kau bersusah payah menyiapkan makan untuk orang lain. Ibu, betapa aku mencintaimu andai saja kau dengar pekik hatiku.
            Seharian membantu Ibu, lelahku terbayar hanya dengan senyum anak-anak saat belajar mengaji di serambi surau bernama Al Falah. “Alif patah a, Alif kasroh i, Alif dhommah u, dibaca… a i u… “ anak-anak ini mengikutiku dengan khidmat, tak jarang celotehan lucu terlontar dari mulut kecilnya. Manja .
Tak lama, motor Ayah dan Mas Adam berhenti di halaman rumah, tidak jauh dari pandanganku. Wajah keduanya merona, Mas Adam turun dengan tergesa dengan secarik amplop coklat di tangannya, lalu masuk ke dalam rumah disusul ayah. “Ada apa?” bisik naluriku. Sejenak kuhentikan mengajar, lalu bergegas ke rumah.
            Pintu kubuka, nampak Ayah, Ibu dan Mas Adam berangkulan. Hanya isak tangis yang ku dengar sangat jelas. Hati bertanya “Kenapa ini?”  Bukannya tadi mereka datang dengan wajah sumringah.
“Ayah?” tanyaku. Serentak enam pasang mata menoleh ke arahku. Melepaskan rangkulannya. Ayah menyeka air matanya dengan handuk kecil yang menggantung di pundak. Mas adam menatapku, lalu berjalan mendekat. “Namira, Mas bawa kabar gembira” tangan kekarnya berlabuh dipundakku.
“Apa mas?” aku penasaran. “Mas Adam akan kuliah di Jepang Mira, di Jurusan IT. Seperti impian Mas” matanya melebar, bangga dan haru nampak jelas di antara bening matanya yang dipenuhi kepingan zat bening.
“Jepang Mas?” tanyaku tak percaya. Ia mengiyakan.
Entah – apa harus diucap. Yang ingin aku lakukan  adalah menangis. Tapi menangis karena apa akupun tak tahu.
Hariku menjadi abu sejak hari itu, kehilangan ialah hal yang amat ku benci.
“Namira, Mas berangkat ya”. Mas Adam membangunkanku yang masih berkabut luka di balik selimut wol merah marun. Hari masih sangat pagi.
“Mau kemana Mas? Kan masih pagi” aku menggosok-gosokkan mata, memastikan penglihatanku tidak salah. Pukul dua dini hari. Ia menatapku heran, “Kan hari ini Mas mau berangkat ke Jepang. Lupa ya? Hehehe “. Ringan – Ia tertawa.
            Lupa? Iya, aku sengaja melupakannya. Biar pedih hanya sekali saja menusuk, saat perpisahan itu benar terjadi. Dan mimpi burukku benar terjadi. Mas Adam akan pergi.  Aku tak ingin melewatkan kesempatan itu. Segera ku bangkit, merangkul Mas  Adam yang masih mematung di samping tempat tidur.
“Mira… kamu kenapa?” Ia heran saat aku merangkulnya, Hal yang  hampir tiga belas tahun tidak pernah aku lakukan lagi padanya.
“Mira sayang Mas Adam, Mira janji gak akan merepotkan Mas, Aku minta maaf ya Mas” tangisku pecah di pundaknya.
“Mira kenapa? Jangan nangis “ Ia melepas rangkulanku dan menyeka air mata yang begitu saja membuncah tanpa arah.” Mira Adik terbaik Mas, Mas gak pernah merasa direpotkan. Kenapa harus minta maaf?”
“Jangan pergi Mas, Mira gak mau ditinggal. Cukup Abang Rasyid saja yang pergi” tak ubahnya seorang anak TK yang kehilangan boneka, aku merengek di hadapnya. Mas Adam seperti merasakan sesakku. Matanya sembab. Dalam hitungan detik, Ia terdiam. Mungkin mencoba menunjukan sisi tegarnya.
            “Mira, Mas juga berat meninggalkanmu. Mas tidak akan berangkat  jika saja Ayah, Ibu tidak mengizinkan. Tapi tekad Mas sudah bulat, Mas ingin terbang menggapai mimpi. Dan akan pulang membawa hasil terbaik, ini untuk Mira juga”. Bijaksana kata-kata yang keluar dari lisannya.  Aku diam, dalam asa yang kini bergelut tanpa arah sungguh terasa menyakitkan. Perpisahan itu tak mungkin dicegah.
Pesan terakhir Mas Adam, lirih ku dengar. Namun pekat mengena ruang hati terdalam. “Jika Mira rindu Mas, berlarilah ke tanah lapang. Bawa layang-layang ini dan terbangkan semampu Mira. Jika layang-layang itu telah mengudara, tataplah dalam-dalam. Kau akan menemukan wajah Abang dan Mas di sana. Tersenyum menyapamu”.
Tetesan embun menyapa di balik kaca jendela. Sebanyak itulah ~ aku meradang usai  kepergiannya.
***
“Ah.. kenapa susah?” kesabaran Namira hampir habis. Layangannya tak mau terbang tinggi, Ini terlalu payah untuknya.
“Percuma, kamu perempuan. Menyerahlah” lengkingan ucapan Ibu terekam kembali dalam memori Namira. Hempas angin membawa lamunannya memutar jarum jam. Masa dimana ada Rasyid dan Adam di sampingnya. Berpura-pura menerbangkan layangan Namira agar Ia senang.
“Dik coba lihat, layanganmu terbang tinggi. Kau wanita hebat. Ayo ulurkan lagi benangnya… ayo.. ayo… “ Begitu jelas senyum tawa Rasyid dan Adam kembali di pelupuk mata Namira, dua jagoan  kebanggaan Ayah dan  Ibu.
Namira masih mengutuki kepayahannya. Tubuhnya rubuh menyentuh tanah. Seolah beban dipundaknya terlalu berat untuk Ia paksakan berdiri. Namira menungkupkan tangan ke wajahnya, Ia menangis.
Suara langkah kaki datang mendekat. Dari sepasang sepatu karet, pikirnya. Disusul goncangan bunyi benda keras dari ranselnya – mungkin sebuah gantungan resleting.
“Abang Rasyid, kaukah itu?” Namira terperangah, menatap sosok yang telah berdiri di hadapnya. Seorang lelaki tinggi kekar, bercambang di kedua sisi wajahnya. Lelaki bermata biru itu tersenyum padanya, mengulurkan tangan untuk  membantu Namira berdiri. Tidak—Namira menolak bantuan itu.
Ia tetap tersenyum dengan penolakan Namira. “Layanganmu tidak bisa terbang tinggi ya? Mau aku bantu?” ucapnya santai
“Siapa kau?  Jangan-jangan kau telah menginpeksiku sejak tadi?
“Tidak , aku hanya melihat seorang wanita cantik menangisi layangannya”
“Jika kedatanganmu hanya untuk mengejekku, sebaiknya pergi dari hadapanku. Kau tak ubahnya kebanyakan orang yang memandangku rendah hanya karena aku seorang wanita!!” desus kemarahan mengalir dari nafas Namira .
“Tidak Namira, kau jangan salah paham. Aku tak ada maksud buruk padamu”. Ia menyesali ucapan pertamanya. “Kau marah padaku?, aku minta maaf” lanjutnya.
“Aku tidak marah padamu, aku marah pada diriku yang payah ini”
“Payah ? Karena tidak bisa menerbangkan layang-layang ini?” tanyanya.
Namira menoleh, Ia mulai bersimpatik pada sosok yang baru itu. “ mungkin iya”.
            Rehan—nama lelaki itu, Mira sangat senang saat tahu  bahwa Ia sahabat dekat Rasyid di Kairo. Wajahnya memang tidak jauh berbeda dari Rasyid jika saja cambang itu tidak ada.  “Layang-layang tak harus terbang tinggi agar Ia terlihat hebat, Ia takkan pernah sehebat burung yang memang ditakdirkan memiliki bersayap, Ia bisa terbang tinggi kemanapun Ia mau” ucap Rehan saat mengajari Namira menerbangkan layang-layang. Namira tertunduk – diam tak berucap. Rehan memancing agar Namira mau berkata.
 “Tapi Abang Rasyid dan Mas Adam bisa, mereka hebat.Kenapa aku gak bisa ?”
“ Kau kan perempuan, ini bukan pekerjaanmu. Kau tak perlu merasa payah, dan terpaku hanya karena tak mampu melakukan satu hal. Kau dapat terlihat hebat dengan pekerjaan dimana seharusnya kau berada, memasak misalnya… heheh “ Rehan mencoba mencairkan suasana tegang yang tercipta sejak awal.
“Kau mau mencobanya?” Rehan menyerahkan benang layangan ke tangan Namira. Gadis itu tampak senang. Dengan sabar Rehan mengajarinya. Ia senang melihat Namira dapat tertawa lepas.
“Kau tidak kuliah Namira?” ucap Rehan mengalihkan pembicaraan.
“Ayah dan Ibu tidak mengizinkan aku  menyusul Abang Rasyid, padahal bulan lalu aku lolos seleksi kuliah ke Kairo tapi di kampus yang berbeda dengan Abang”
“Kenapa?”
“Karena aku perempuan, Ayah Ibu  khawatir melepaskanku, gak adil kan?” Namira mencoba merebut simpatik Rehan.
“Bukan, maksudku kenapa tidak kuliah di kampus yang dekat  rumah saja. Ayah dan Ibumu pasti mengizinkan”. Namira sedikit kecewa dengan jawaban Rehan.
“Enggak ah, masih ingin berusaha  kuliah di luar negeri. Aku malu, kedua kakakku saja bisa. Kenapa aku tidak? Semua orang punya hak yang sama untuk sukses bukan?”. Rehan terdiam—memutar akal bagaimana menjawab pernyataan gadis itu. Namira tak terkendali, Ia sangat terobsesi untuk terbang tinggi. Diulurnya benang layangan itu hingga hampir tak bersisa di gulungan.
“Mira jangan terus diulur, tarik sedikit demi sedikit benangnya, kalau gak dia akan hilang kendali “
“Layanganku terbang tinggi kak… yeahhh…. Ayo terus terbang… layang-layangku terbanglah.. bawa cita, cinta dan bahagia ke pelukanku” Namira terus bersorak, bernyanyi kecil dan larut dalam tawa yang lepas.
“Namira tarik benangnya… Mira…” Rehan terus mengomandoi dari sampingnya. Namira tak menghiraukan.
“Kak… ini gimana?”  layangan Namira mulai tak terkendali, terseok terbawa angin. Rehan mencoba membantunya, namun benang yang diulur Namira terlalu panjang untuk ditarik. Ia sulit dikendalikan, lalu …. benang layangan itu putus tergesek cabang ranting pohon randu yang tajam. “Yah… Kak.. layanganku…” Namira kecewa. Ia menyesali perbuatannya yang ceroboh.
Rehan hanya tersenyum. Lalu menjatuhkan dirinya di tanah, pun Namira ikut duduk di sampingnya. Namira tertunduk, mengusap-usap telapak tangannya yang tergores benang tajam. Rehan mengalihkan perhatiannya pada tangan Namira.
“Kau tahu Mira, layang-layang tadi telah mengajari kita banyak hal”
Namira menoleh , “Oh ya, apa? Kok Mira gak tahu”
“Jika ibaratkan layangan itu adalah anak, dan yang memainkannya adalah orang tua. Maka seperti itulah orang tua mendidik kita, ada kalanya mengulur dan ada saatnya untuk menarik kembali”
“Aku gak mengerti Kak?”
“Ibarat apa yang dilakukan Ibumu dulu, mengapa Ia tak suka kau bermain layangan karena memang itu bukan pekerjaanmu, itulah mengapa kau ditarik untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Tapi orang tuamu tidak melarang untuk kuliah kan? Ia membebaskan untuk memilih. Hanya saja mereka terlalu khawatir kau jauh dari jangkauannya. Mereka takut kamu berakhir menjadi layangan putus tadi yang terbawa arus  terbang tanpa arah, tak terkendali dan kita tak tahu akhirnya menjadi apa. Mungkin tersangkut, terbawa arus sungai atau bahkan berakhir menjadi sampah di udara” ucap Rehan panjang lebar. Namira tidak menolehnya, diam membisu dalam heningnya.
“Namira percayalah, tidak ada yang menganggapmu rendah sebagai wanita. Kau sangat istimewa. Bersyukurlah menjadi wanita, makhluk yang dicipta untuk dilindungi dan disayangi karena kelemahannya” .Rehan menatap lekat wajah Namira. Tangannya tak mampu hanya diam menyaksikan cairan bening mengalir di wajah gadis itu. Disodorkannya sebuah sapu tangan, Namira menerimanya dengan malu.
“Aku antarkan kamu pulang ya, Ibu menunggumu dengan cemas di rumah”
***
Namira baru saja mendapat pelajaran berharga dari sebuah layang-layang. Tentang misteri hidup yang tak pernah mampu Ia pecahkan sendiri.
Setibanya di halaman rumah. Namira heran menyaksikan lalu lalang orang di sana. “Ada apa ini?” Namira berlari menerobos kumpulan orang. Ayah yang sedang berdiri di depan kamar langsung merangkul Namira begitu Ia datang. Ayah menangis.
“Kenapa Yah? Kenapa banyak orang di rumah kita?”
“Ibumu Nak.. “ Ayah membawa Namira masuk ke kamar. Dihadapnya, seorang wanita terbaring lemah di atas ranjang beralaskan sprei hijau muda yang Ia ganti tadi pagi. Hampir seperempat tubuhnya melepuh. Dadanya bernafas tak beraturan, Ia mengaduh dengan mata terpejam.
“Ibu… Ibu kenapa?” Namira bersimpuh di samping Ibu. Digenggamnya tangan itu, tangan yang selalu Ia cium penuh hormat. Tangan wanita yang telah mengangkatnya ke dunia. Namira tak mampu menahan pilu. Diusapnya rambut yang mulai memutih itu.
“Ibumu tersiram minyak panas saat sedang memasak tadi Mira” Ayah ikut terseguk-seguk.
“Ayah  bawa Ibu ke rumah sakit “ Mira mengguncang-guncangkan tangan Ayah.
“Mira.. Namira sini ..” lirih suara Ibu berucap. Air mata deras mengalir dari matanya yang Ia paksakan terbuka. “Mira, Ibu takut” lanjutnya
“Kenapa Ibu takut, ada Mira di sini Bu. Mira akan jaga Ibu”  Namira menempelkan wajahnya di pipi Ibu, Ia ingin merasakan betapa hangatnya pipi itu.
“Mira Ibu takut berhutang kebahagiaan padamu, Mira… Ibu telah banyak menyulitkan mimpi-mimpimu. Maafkan Ibu ya…”
“Ibu tak pernah salah, Mira yang tak pernah bisa membuat Ibu bangga. Mira benci menjadi wanita. Mira tidak bisa sehebat Abang dan Mas. Mira hanya bisa menyakiti perasaan Ibu. Ampuni Mira Bu… Mira mohon Ibu bertahan yah” .Waktu terasa begitu sempit bagi Namira. Hanya dentingan jam dinding dan detak jantung Ibu yang terdengar begitu pelan.
“Tidak Mira, justru kaulah yang paling berharga, kaulah satu-satunya wanita hebat yang kelak akan menggantikan Ibu Nak. Susullah Abangmu ke Kairo, kejar mimpimu agar Ibu tak meninggalkan hutang padamu”
“Ibu… tidak akan. Tidak akan Mira pergi meninggalkan Ibu, Mira tetap di sini menjagamu, Mira mohon Ibu jangan berkata-kata lagi, kita harus segera ke rumah sakit”. Ibu menggelengkan kepalanya. Diraihnya tangan Rehan yang berdiri di samping Namira.
“Nak Rehan, bantulah layang-layang Namira terbang tinggi. Bawalah cita, cinta dan bahagia ke pelukannya. Ibu yakin, kaulah lelaki terbaik untuk disampingnya. Dialah perhiasan paling berharga bagi kami, yang hanya bisa dibeli dan dimiliki atas dasar cinta pada Allah”. Namira menjerit, saat nafas terakhir Ibu dihembuskan. Dengan lancar lisannya mengucap lafadz tauhid. Untuk kesekian kalinya Namira kehilangan.
***
Sore hari dalam perjalanan spiritual di  Makkah
            Ragaku tersungkur bersujud penuh syukur. Dalam kedamaian rumah Allah, tanganku menengadah memohon ampun. Decak syukur berhembus dalam setiap aliran nafasku. Kepergian Ibu menyisakan luka teramat dalam. Terutama bagi Ayah, lelaki yang seiring bertambah batang usianya tak pernah lelah meniti hari.
“Namira, Ayah ke hotel duluan ya. Biar Rehan yang menemanimu menikmati suasana tempat ini” Ayah tersenyum padaku, sepertinya Ia juga merasakan kebahagiaan yang sama. “Perlu Mas Rehan antar Yah?” tanyaku, Ayah menggelengkan kepala.
Rehan datang menemuiku, baju putih yang Ia kenakan membuat wajahnya makin bercahaya. “Aku temanimu jalan-jalan sekitar mesjid sini yuk “ Ia tersenyum padaku. Aku membalasnya dengan anggukan iya. Kami duduk di tangga mesjid. Rehan memancingku dengan candaannya. “Namira, kau tahu nama mesjid ini apa?” Ia menunjukan jarinya ke tulisan arab di dinding mesjid itu.
            “Mesjid namirah kan?” 
“Iya betul, kau tahu kalau namamu di ambil dari nama mesjid ini?” ucap Rehan memancing ingatanku. Aku menggeleng “Ibumu yang memilihkan nama itu untukmu, dengan harapan kau tumbuh menjadi wanita baik , suci dan mulia . Seperti mesjid ini”
Rehan tahu banyak tentangku, benar yang dikatakan Ibu. Dia lelaki yang baik.
“Eh sudah sore, pulang yuk. Besok kita kan harus mengurus surat-surat kuliah kamu”. Rehan bangkit dari duduknya.
“Mas, Mira ak usah kuliah deh. Mira udah merasa cukup bahagia dengan hidup Mira sekarang. Mira mau jadi seperti Ibu saja,merawat rumah dan mengurus anak-anak”
Rehan mengerutkan dahinya “Gak apa-apa  Namira, aku ikhlas kamu kuliah. Dan satu lagi, bukan cuma kamu yang akan mengurusi rumah dan mengurus anak-anak, tapi kita. Kau dan aku. Pokoknya kamu tetap kuliah, ini pesan Ibu”
“Tapi bukannya kamu pernah bilang. Layang-layang tak harus terbang tinggi agar Ia terlihat hebat. Aku tetap bahagia walau hanya berada di rumah menemanimu”
“Tapi layang-layang yang ini berbeda. Aku yang memainkannya, Insya Allah tidak akan putus seperti layanganmu dulu…hehehhe “ Godanya.
“Ihhh…. Ngeledek yah…” Rehan terpingkal saat aku mencubit tangannya. Tak ada yang harus diresahkan, inilah kesempatan. Petang membayang, aku dan rehan pulang meninggalkan mesjid Namirah. Aku berjalan melewati tiga orang wanita bercadar. Mereka berbisik perlahan, perempuan pertama berkata “Eh itu kan Namira Jasmine “, lalu perempuan kedua menimpali “Siapa dia?”, Wanita pertama menjawabnya “Dialah wanita yang dibeli seorang lelaki shalih atas dasar cinta kepada Allah”. Perempuan ketiga menanggapi “Iya benar, dia wanita yang taat beribadah, mencintai dan menghormati orang tua serta  menjaga kehormatannya. Semoga Allah melimpahkan rahmat kepada Ia beserta keluarganya, dan menjadikannya bidadari syurga ” . Mendengar percakapan itu aku segera berhenti dan menoleh ke arahnya.
“Kenapa Dik?” tanya Rehan. “Kamu lihat tiga perempuan di sana tidak?”
Rehan mencoba menajamkan pandangannya menusuri petunjuk jariku, lalu tertawa “Itukan hanya patung pohon kurma Namira, ah wanita hamil memang suka berhalusinasi, mungkin kamu terlalu capek . Kita pulang saja ya”.
 Rehan sama sekali tidak melihat ketiga perempuan itu. Mungkin mereka adalah jelmaan bidadari syurga, pikirku. Jika iya. Semoga Allah mengabulkan do’anya .amin()



1 komentar: