Jumat, 25 Juli 2014

Wanita Yang Dibeli


“Namiraaa…. Namiraa…“
Seorang wanita dengan langkah tergesa mengusik riuh sorak tawa anak-anak di tengah tanah lapang yang luas. Wajahnya tak bersahabat,  kain rok yang membalut tubuh sintalnya  tak urung Ia gulung agar langkahnya lebih cepat.Gadis kecil yang disebut namanya itu segera meletakkan mainan yang amat dibenci sang Ibu.
“Harus  berapa kali lagi ibu bilang Mira, anak perempuan jangan main layangan. Mau dihukum gimana lagi hah.. gak kapok ya?” dengan gemas Ibu menjewer kuping Namira, spontan gadis enam tahun ini mengaduh seraya memohon ampun. Ayah yang juga berada di sana bersama kedua kakak Namira, Rasyid dan Adam segera mendekat.
“Sudah.. sudah… Ibu jangan keterlaluan, Namira kan hanya main layangan, bukan bertengkar atau mencuri. Kenapa harus dijewer? Lepaskan !” belanya sambil merebut paksa Namira. Tak terima Namira mendapat pembelaan, Sulastri semakin menjadi aralnya. “Ayah ini gimana sih? Namira kan anak perempuan, harusnya ada di rumah bantu pekerjaan Ibu. Bukan main bercampur sama anak lelaki!”
“Namanya juga anak-anak Bu, biarkan dia menikmati masanya” tukas Teuku, tak ingin perdebatan dengan istrinya menjadi tontonan anak-anak lain, Ia segera meredakan suasana, dipanggilnya kedua kakak Namira, Rasyid dan Adam untuk pulang. Petang membayang meneduhi iring-iringan keluarga kecil ini kembali ke peraduan dalam diam hampa kata.
Namira kecil selalu ingin tahu, aktif dan cerdas. Namun dibalik segala kelebihan yang dimiliki Namira mengundang kekhawatiran Sulastri sebagai Biyang yang melahirkannya, Ia takut Namira tumbuh melebihi kemampuan kedua kakaknya.
            Di tengah makan malam. “Kenapa hanya Namira yang gak boleh main layangan ?” Namira kembali teringat kekesalannya sore itu. Celotehnya mengusik kebisuan. Ibu menaruh sendoknya di samping piring. Menyudutkan Namira dengan tatapan tajam. “Karena kamu anak perempuan, gak baik melakukan permainan anak lelaki” ucap Ibu.