Minggu, 11 November 2012

Batik Afifah


 Pegas IPB 2012



Jantungku  berdegup tak beraturan, saat sosok  bayang Afifah tidak tampak di atas kasur beralaskan seprai merah bergambar angry bird miliknya.Usai makan malam bersama santri lain, Afifah pamit ke kobong (sebutan kamar di asrama).
“amih” (sebutan untuk pengasuh di asrama tahfidz cilik ini), ”aku mau bo..bo ya” mulut kecilnya berkata sambil menguap karna kantuk.Akupun mengizinkan, walau seharusnya usai makan malam ada agenda wajib bagi santri, yakni mengulang bacaan qur’an untuk disetorkan esok pagi pada muhafidzoh, kami paham dengan Afifah.
Selesai  membereskan piring-piring kotor, rutinitas pukul sembilan malam saatnya memeriksa satu per satu kamar santri kecil untuk memastikan tidak ada lagi santri yang masih keluyuran.Ada sekitar 50 santri  putri yang tergabung di asrama ini, yang dikategorikan menjadi tiga tingkatan.Usia 5-6 tahun di asrama  Aisyah, 7-8 tahun di asrama Khadijah dan asrama Fatimah untuk santri usia 9-12 tahun, terkecuali Afifah.Kami memberikan kebijakan lain.
Aku Ranisa, terpilih menjadi musyrifah di asrama Aisyah.Sebagai musyrifah atau pembimbing asrama, kewajibanku tidak hanya mengajari santri dengan hal-hal baik, juga menjaga kenyamaan dan keamanan santri.Di kobong no.1, Riska dan Helvi telah bersiap dengan selimutnya.Lanjut ke kobong no.2, Aliana dan Resti sudah terlelap.Lalu aku lanjutkan ke kobong-kobong berikutnya.Semuanya dalam keadaan baik.Akhirnya aku tiba di daun pintu kobong no.9 , tempat gadis usia 8 tahun keturunan Sunda-Belanda ini dititipkan.Mulut pintu terbuka beberapa jengkal, aku menggelengkan kepala.
“Ya ampun, Afifah kebiasaan deh lupa tutup pintu sebelum tidur” geram hatiku sedikit kesal.
            Saat pintu kobong ku buka, Afifah tidak ada.
“Astagfirullah” aku mulai cemas. Segera aku cek ke dapur.Biasanya Afifah minta dibuatkan susu madu hangat sebelum tidur pada Bi Inem. Namun, Afifah tidak di sana.
“Lihat Afifah gak li?” tanyaku pada Aliana yang sedang berada di depan kamar mandi.Santri berbadan kurus ini menggeleng dengan datar.
Hatiku makin berdebar saat di ruang Qur’an, pun Afifah luput.
“Ada apa amih Ranisa ?” Tanya Bunda shinta, kepala asrama secara tiba-tiba dari balik pintu kamarnya saat kebetulan melihatku mondar-mondar di lorong gedung seperti orang kebingungan.
“a..aaa..nu...…Afifah hilang lagi bunda, dia tidak ada di kobongnya” jawabku sedikit gugup.
“Amih sudah cari di kamar mandi atau ruang Qur’an?” Tanyanya lagi.
Aku mengangguk
“Yasudah amih Ranisa tenang dulu, kita cari Afifah sama-sama,tapi jangan ribut, khawatir santri lain terganggu.Aku cari ke sebelah kiri dan amih Ranisa cari ke sebelah kanan asrama.gimana?” Bunda Shinta menawarkan solusi.Sedikit buatku lega.
Lalu kami pun berpisah namun dengan misi yang sama, “mencari Afifah”. Afifah benar-benar anak spesial, sejak kehadirannya di asrama Qur’an, sosoknya tak pernah luput dari perhatian kami.Sifatnya yang senantiasa berubah-ubah, kadang manja,malas, namun sering pula ia menjadi pemimpin bagi teman-teman saat moodnya sedang baik.Dia gadis yang ramah dan rendah hati, sekalipun usianya paling tua di asrama Aisyah.Tapi Afifah tetap pede dan tidak kecil hati, walaupun teman-teman seusia telah melampauinya ke tingkat yang lebih tinggi, Afifah masih harus mengulang sebab tidak lulus ujian saat kenaikan tingkat tahun lalu. Asrama ini memang spesial, siapapun, dari latar belakang apapun dan bagaimanapun keadaan santri, selama ia memiliki antusias belajar dan orang tua percaya dengan pelayanan yang diberikan, asrama ini senantiasa terbuka lebar. 
Teringat jelas dalam ingatanku saat gadis kecil ini diantar kedua orang tuanya, Bapak Bachtiar dan Ibu Olive pemilik gerai batik tulis asal Cirebon yang sukses mendobrak pasar di beberapa kota di Indonesia bahkan sampai ke negeri tetangga, Afifah tidak sedikitpun menangis seperti kebanyakan santri lain saat pertama masuk asrama Qur’an.Usianya masih enam tahun kurang saat itu.Afifah harus disapih, jauh dari keluarga.
“Tolong jaga Afifah baik-baik ya amih Ranisa , jangan bosan mendidiknya. Berapapun biaya yang Afifah butuhkan akan saya penuhi,asalkan Afifah mendapat pelayanan terbaik dan nyaman di asrama ini” ucap Nyonya Olive dengan berurai air mata.Melepas anak istimewa seperti Afifah, bukan perkara mudah baginya.
Kang Bach, sapaan akrab untuk tokoh masyarakat yang disegani yang tiada lain Ayah Afifah tetap dalam kebisuan, tampak jelas ketegangan di antara kedua pasang suami istri yang telah mengarungi biduk rumah tangga selama lebih dari sepuluh tahun ini.Bach mencoba tegar,namun urat-urat di lehernya seakan berbicara bahwasanya hati kecil iapun sedih melepas si sulung.
Lalu bayang itupun memudar, menyisakan titik-titik perih sekaligus kagum akan ketabahan Afifah.Malam ini, kembali aku dibuat khawatir olehnya.
“Afifah… Afifah.. kamu dimana sayang?” kataku memanggil-manggil dengan suara sedikit ditahan agar tidak membangunkan santri lain.Sementara mataku tak henti mencari-cari ke sekitar.Berharap Afifah segera di temukan.Sudah setengah jam lebih belum ada hasil dan  aku hampir putus asa.Tiba di depan gerbang kiri asrama, pun Afifah belum kelihatan.Tapi rasanya tidak mungkin Afifah pergi keluar, toh gerbangnya sudah di kunci rapat dari waktu maghrib pula.Lalu aku putuskan untuk kembali ke kobong no.9.”Mungkin Afifah cuma keluar sebentar” pikirku.
Saat melewati taman belakang.Mataku menangkap bayang sosok berbaju merah yang tengah asyik bersenandung memandangi langit malam sambil menikmati suasana syahdu tetesan air mancur yang jatuh beriringan menghujam batu-batu kecil di bawahnya.
“na,….nana…na..”
Aku menghembuskan nafas lega.
Lekas ku hampiri sosok kecil nan manis itu.”Afifah sayang…” kataku langsung merangkul tubuhnya yang koyak diterpa angin malam.
“A…ammihhhh” jawabnya membalas pelukanku dengan kecupan manis di pipi.
“Kamu ngapain disini sayang? Ini udah malam, amih Ranisa dan bunda Shinta panik mencari kamu loh.ayo bilang sama amih, Afifah kenapa malam-malam gini ada di luar ?” ucapku.Aku menggemas pipinya dengan lembut.Gadis kecil ini menatap nanar mataku, tersipu lalu kemudian wajahnya yang polos berubah murung, sambil mendongkak ke langit, mata terpejam bak bidadari tengah memanjatkan do’a untuk bisa kembali ke kahyangan.
“a..a…fi…fah ka..kangen… ma..ma… papa… aa…miihhh” katanya polos, lalu merangkul tubuhku dengan erat. Dari sorot matanya aku menemukan binar penuh arti.Afifah kesepian.Yaa… aku tahu itu.
“Ini apa sayang?” kataku mencoba mengalihkan perhatian, mencoba menghiburnya agar tak lama larut dalam kesedihan. “wah bagus banget kainnya, pasti belinya di luar negeri ya.Amih yakin ini harganya mahal kan?..hehe.. “.Afifah tersenyum ketika aku memuji selendang kesayangannya.
“In..ini… ba..batik me..ga mendung aa..miih.. “ ujarnya dengan sedikit terbata-bata, “aku dannn ..ma..mamaku ya..ng.. buat ..ini sebelum ..akk..ku didi..di asrama amih” lanjutnya.
Oohhh.. aku merasa bahwa semakin hari ikatan batin Afifah dan ibunya makin  kuat.Sifat dan kecerdasan Olive menuruninya.Pantas saja Afifah begitu pandai menggambar.Terutama gambar-gambar abstrak, yang ternyata setelah aku pahami itu ialah motif batik.Megamendung seperti yang Afifah katakan.
xxx
“Pah… kapan kita jenguk Afifah..”
Suatu sore di balik rumah minimalis bergaya rumah khas sunda namun eksotik arsitektur Belanda kental di dalamnya.Seorang wanita bertanya pada lelaki yang sangat di hormatinya.
“pah.. kapan??” lanjutnya,saat pertanyaan pertama tak berakhir dengan jawaban.
Bachtiar segera mereguk wedang jahe yang masih tersisa di cangkirnya.
Setelah habis iapun meletakkan cangkir itu di atas meja siku-siku berwarna coklat mengkilat.Lalu menghampiri wanita yang dikasihinya itu, Olive menggeser dingklik, tempat duduk saat membatik agar lebih dekat dengannya.
“Tiga bulan lagi, saat Afifah kenaikan kelas” ujar Bactiar dengan tenangnya.
Olive berubah murung, menatap lekat mata suaminya.Gurat hitam menggarisi matanya yang kebiru-biruan, entah karena terlalu sering menghabiskan malam mengerjakan pesanan batik tulis atau karena kurang tidur memikirkan Afifah dan perseteruannya dengan Bachiar.Bagaimana tidak, perasaan hati wanita mana yang tidak membatin saat harus terpisah jauh dari buah hati yang dikasihinya, bukan karena ingin memanjakan, namun Afifah terlalu spesial baginya, dia butuh perhatian lebih daripada anak-anak normal pada umumnya.
 “aku sudah tak kuat menahan rindu padanya pah, dia pasti kesepian di sana. Biarkan dia pulang, aku ingin memeluknya setiap saat,menjaganya sebagai bentuk syukur atas karunia Allah yang begitu luhur ”  lalu airmatapun tumpah tak terbendung lagi.
“Dia akan baik-baik saja di sana” bachtiar mencoba menghibur istrinya.”kamu tak usah cemas” lanjutnya.
“Dia yang akan baik-baik saja atau kamu yang senang dan bebas tidak mendengar cemoohan orang-orang.kamu malu kan kalau Afifah ada di rumah ini pah” ujar Olive dengan nada meninggi.
Bachtiar terperanjat dengan ucapan Olive, tidak seperti biasa olive meninggikan suara saat berhadapan dengannya.
“Kamu menyesalkan kan punya anak yang berkebutuhan khusus.yah.. aku ngerti, dimatamu dia memang tak berguna, tak ada harganya.Tapi ingat pah, dia tetap anak kita.Dia amanah Allah yang harus kita syukuri, pun dia punya hak yang sama seperti Bani dan Azam” Olive memanas.Bachtiar mengepalkan tangannya, suasana berubah menjadi tegang.Petang itu, gelas kaca menjadi saksi.Bahwa purnama tak selalu bersinar dalam kehidupan ini, benarkah semua ini karna Afifah?? Haruskah Afifah bertanggungjawab atas pertengkaran kedua orangtuanya??
“STOP…. Kamu takkan pernah mengerti”
Bachtiar berlalu dengan kemarahan.
xxx
Pagi hari.
“Anak-anak seminggu lagi kalian akan menghadapi pekan ujian.Ada banyak ujian dan lomba yang akan kalian ikuti untuk menilai sejauh mana perkembangan kualitas diri kalian setelah belajar selama satu semester ini, ibu harap kalian lulus semua,  jadi persiapkan diri kalian sebaik-baiknya, terutama anak-anak di asrama Aisyah.Kalau kalian sudah lancar membaca iqro, maka akan lanjut belajar Al-qur’an” penuturan Bunda Shinta dalam pidatonya pagi itu.
Lalu suasana pun berubah menjadi ricuh. Suara huuuhhh terdengar dari mulut-mulut santri yang tidak suka dengan kata “ujian”.
Tiba-tiba dari tengah barisan, suasana mendadak ramai.Seorang santri bernama Rima berlari ke depan kepala asrama dengan tergopoh-gopoh “ Bunda, Afifah pingsan lagi.Badannya dingin dan kejang-kejang”
Semua pengajar langsung berhamburan ke tengah lapang.Afifah sudah tergeletak di atas lantai lapangan.Lalu kami membawanya  ke ruang  UKS.
            Selaku musyrifah sekaligus tutor Afifah, aku sudah biasa dengan hal-hal seperti ini.Pernah suatu ketika, saat aku sedang mengajarinya mengaji.Tiba-tiba Afifah berhenti bersuara, matanya kosong dan badannya dingin.lalu ia  rubuh tak sadarkan diri.Nyonya Olive secara diam-diam sering menelponku, darinya aku tahu keadaan Afifah.Afifah berbeda, perkembangannya sangat lambat dibanding teman-teman seusianya.Namun aku sangat bersyukur,karena dengan kehadirannya senantiasa mengingatkan kami untuk selalu bersyukur atas segala nikmat-Nya, Dzat yang Maha Sempurna atas hamba-hambanya yang jauh dari sempurna.Saat orang-orang memandangnya sebelah mata, namun dari tangan kecilnyalah lahir seni batik yang unik untuk anak seusianya.
Afifah kecil kami ialah skenario Tuhan yang terindah.
Lima menit berlalu, lamunanku tergubris saat kurasa jari-jari kecil Afifah bergerak perlahan di dalam genggaman tanganku.
“Sayangku”..
Afifah membuka matanya dengan malas.
xxx
“Siallll… penjualan enam bulan terakhir ini terus melonjak turun”
Bachtiar melempar lembaran kertas  berisikan laporan keuangan tepat ke depan mata kaki olive saat ia berjalan ke arah suaminya.Olive mengambil kertas itu, lalu mengamatinya baik-baik.
“Setahu aku, produksi batik tulis kita terus meningkat pah” ujar olive menanggapi.
“Tapi kenyataan di lapangan, batik kita mulai banyak ditinggalkan.Pelanggan dominan memilih batik cetak yang beredar di pasaran yang lebih variatif dan murah” ucapnya dengan nada kesal.
“Mungkin kita harus menurunkan harga jual dan mengurangi biaya produksi pah” Olive mencoba berpendapat.
“Itu tidak mungkin, biaya produksi yang dikeluarkan sudah sesuai dengan kualitas batik yang diproduksi, kita hanya perlu lebih kreatif dan inovatif, pelanggan butuh nuansa baru untuk corak batik megamendung yang banyak beredar” Bach menuntaskan argumennya.Olive merenung.
“Pah, bagaimana dengan  Zakat, infaq dan shodaqohnya, sudah kamu tunaikan?”
“ Sudah” jawab Bach tegas,”kamu tak usah khawatir, rezeki yang kita makan insya Allah halal, kita telah mengeluarkan hak orang lain atas harta yang didapat” tambahnya.Bach seolah membaca apa yang terpikir di benak Olive.
Secara tiba-tiba olive berkata.
“Sudah..?”
“Kamu yakin?”
Bachtiar mengangguk iya.
“Lalu bagaimana dengan Afifah? Apa kamupun telah menunaikan haknya?”
Bachtiar terdiam.
“Apa hubungannya penjualan batik dengan Afifah?” Bachtiar kaget dengan pertanyaan yang ini.
“Sikap kamu terhadap Afifah, mungkin salah satu penyebabnya pah. Kurasa ada campur tangan Allah atas hambanya yang menutup hati akan kenyataan yang tak disyukurinya”
Bachtiar menghela nafas panjang.Sementara olive tampak memerah matanya.
“Afifah butuh belaian kasih sayang kita pah, terlebih kamu.Dia menginginkan kamu.Afifah terluka saat kamu tak mau mengakui dia anakmu di hadapan banyak orang.Tidakkah kamu pahami.Batik megamendung kita menurun, bisa jadi itu adalah cerminan perasaan Afifah atas perilaku tidak adilmu” Olive kini mulai berani meluapkan ganjalan di hatinya.

Tiga hari berlalu
Sebuah kiriman pesan terlampir di inbox email Olive.Dari amih Ranisa.

Bunda Olive ini gambar motif batik terbaru hasil lukisan  Afifah : )
Ia bilang ini hadiah untuk mama dan papa.

Olive tersenyum karenanya, seakan mendapat suntikan semangat baru.Lekas diambil kain mori yang menggantung di gawangan, lalu mulai merangkai garis-garis mengikuti gambar yang terpampang di layar laptopnya.
           Berjam-jam Olive duduk di depan kompor tempat memanaskan tinta.Mulai melukis sedikit demi sedikit Proses Ini butuh waktu lama untuk menghasilkan  batik kualitas baik.
xxx
Bach masih merengut di balik kamarnya yang berhiaskan kayu.Bani dan Azam sedang belajar menggambar.
“ah masih bagusan gambar batik yang dibuat kak Afifah” celetuk bani pada gambar yang sedang dibuat azam.
“iyalah… kak Afifah kan emang udah jago” jawabnya ketus.
“coba kalau kak fifah ada disini ya.kita kan bisa diajarin gambar” lanjut Bani
Obrolan kecilpun berlangsung, rupanya Bach diam-diam mendengarkan.dihampiri kedua anak lelakinya, bach tertarik dengan selembar kertas HVS bergambar batik.
“ini gambar punya siapa Bani, Azam?” Tanya Bach.
Bani dan azam saling melirik.
“kak Afifah pah” jawab mereka kompak.
“kapan Afifah gambar ini?”
“Mama yang print, dikirim sama amih Ranisa via email mama.. bagus kan pah?” goda bani..si bungsu ini amat kehilangan saat Afifah harus diasramakan.Banilah yang paling dekat dengan Afifah, dia yang selalu membela jika ada anak-anak iseng yang mengejek Afifah”
“sana pergi kamu, jangan ganggu kakakku, dia terlalu baik buat kamu jahatin” bela Bani disaat Afifah terpojok.
            Bach merenungi omongan kedua putranya.kemudian berlalu mencari Olive.Saat ditemuinya di ruang khusus tempat dimana Olive menghabiskan hari-harinya berimajinasi dengan hobi membatik yang sekaligus menjadi penonggak kehidupan keluarga mereka sekarang.Olive rupanya menyadari kedatangan Bach di ruang yang cukup luas itu.
Masih dengan canting ditangannya, Olive melayangkan senyum.
“Pah lihat deh.. bagus ga?, aku baru menemukan ide nuansa baru untuk batik kita”
Bach tersipu,
“Ide kamu atau idenya Afifah..hmmmm” godanya. Lalu keduanya pun tergelak.
“Kita harus berterima kasih pada Afifah pah, karenanya aku semangat membatik lagi” Olive bahagia.
“iya pasti itu, bagaimana kalau kita jenguk Afifah minggu depan?, untuk berterima kasih sekaligus nunjukin batik yang kamu buat” Bachtiar menyunggingkan senyum.
Olive menyandarkan kepalanya di bahu Bachtiar, ada nuansa haru yang tak ia rasakan selama bertahun-tahun.Haru karena bahagia tentunya.
Selang beberapa menit, handphone Olive bordering.
Amih Ranisa memanggil.
xxx
Sejak kejadian pingsannya Afifah di lapangan waktu itu, kesehatan Afifah semakin menurun dari hari ke hari.Badannya sering tiba-tiba mendadak panas, tapi tiba-tiba juga pulih kembali.
Pengajar di asrama sudah beberapa kali memberi kabar pada Nyonya Olive, namun jawabannya sama.Bachtiar selalu punya beribu alasan untuk menunda kedatangannya.
Sore itu setelah tes bacaan, Afifah mendadak kejang-kejang.Seisi asrama panic dibuatnya.Padahal selagi tes Afifah baik-baik saja.Malah sering mendapat pujian, karena perlahan Afifah mulai lancar membaca iqro.Terlebih saat dua hari lalu, ia menjuarai lomba kaligrafi, perpaduan antara seni kaligrafi dengan seni batik tulis yang dibuat Afifah memberi nuansa baru yang berbeda.Bahkan seorang kolektor barang antik asal negeri Jiran saat mengunjungi anaknya di asrama itu berani menawar lukisan kaligrafi Afifah dengan harga yang funtastik, namun Afifah tidak mengijinkan dengan alasan lukisan itu untuk kado pernikahan orang tuanya.
Tidak ada pilihan lain.Afifah pun segera dilarikan ke rumah sakit.
Dua jam berlalu tanpa terasa.Afifah berada di UGD tanpa penanganan khusus, Dokter tidak berani mengambil tindakan sebelum ada persetujuan orang tua pasien. Pengajar dan beberapa teman Afifah menanti dengan cemas.Kami tak henti-hentinya berdoa demi kesembuhan Afifah.Semua karena kami sayang Afifah.
           Selain anak berkebutuhan khusus, Afifah menderita epilepsi bawaan,itulah penyebab kenapa dia sering tiba-tiba pingsan dan kejang.Aku telah berusaha membujuk Bachtiar agar membawa Afifah pulang .Namun selalu gagal.Kurasa Bachtiar malu memiliki anak cacat seperti Afifah.Karena yang terlihat di mata Bachtiar, hanyalah kekurangan Afifah.
          Dari lorong rumah sakit tampak sepasang manusia datang dengan tergesa-gesa.
“Ibu Bapak  harus segera menghadap Dr.Nirwan di Ruang Melati” ujar amih Sarnia dengan tidak sabar.Mereka segera menurut.Baru beberapa langkah keduanya berlalu, tiba-tiba suster keluar dari kamar tempat Afifah berada.
“Sudah ada keluarga pasien?” Tanya suster.
Bach dan olive yang mendengar perkataan suster, segera berbalik dan menghampiri.
“Saya ibunya suster” Olive dengan gelisah.Lalu mengikuti suster masuk ke dalam ruangan diikuti yang lain.
            Wajah cuek  Bachtiar lumpuh saat itu juga.Gurat kesombongan yang membalut figur ayah dimata Afifah, berubah seketika bagai pungguk yang mengharap belasan maaf sang bidadari.Siapapun, sekeras apapun hati seorang manusia, saat ditampakkan di depan mata seorang anak berwajah manis tengah sekarat, sungguh ironis jika ia tak luluh dibuatnya.Mata Afifah melotot, menatap kosong sekelilingnya, namun dari bibirnya yang tipis, begitu banyak kata yang ingin ia sampaikan.
“mama… papa…. Ma..af.., “ ucapnya dengan samar.
Derai tangis pecah saat itu juga, Bachtiar yang tak sanggup lagi menahan gejolak penyesalan itu, luluh dihadapannya.
“Maafkan papa sayang, maaf.kamulah anugrah terbesar ciptaan-Nya.Uhibbuki fillah Afifah, nikmat Allah tak hingga dengan hadirmu” Bactiar menangis dan terus memeluk Afifah, dengan perasaan sesal membungkus.
         Olive tetap dengan tangisnya.Aku mencoba menenangkan, walau begitu sesak di hatiku menyaksikan keharuan keluarga ini.
Tiba-tiba nafas Afifah sesak,lama kelamaan semakin tak beraturan.suster menyarankan agar beberapa orang keluar lalu memanggil dokter.
          Bachtiar, olive dan aku tetap berada disampingnya.Afifah semakin tidak terkendali,  badannya menggeliat menahan sakit.Matanya terpejam.kami mencoba membisikkan lafaz syahadah.Afifah mengikutinya dengan baik.
“lailahailallah…..” pelan dari mulut kecilnya.
          Nafas Afifah berangsur tenang, santai. lalu berakhir dengan senyuman manis di bibirnya.kami terpaku, saat nafas terakhir Afifah dihembuskan.
Innalilahi wainna ilaihi rojiuun….
          Afifah menutup matanya dengan tenang, menginggalkan karya dan dekap syukur yang mengalun sepanjang hidupnya.Dan sehelai kain batik menjadi bukti.Membuka mata hati kami akan Kebesaran-Nya, bahwa tiada yang sempurna melainkan Dia, Allah.Kepada-Nya lah nikmat syukur terlantun penuh do’a.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar