Selasa, 02 Juni 2015

Canting Pinangan



PAYAH~ orang-orang ini selalu saja mengeluh. Bosan aku mendengarnya. Bertutur masalah efektif dan efisien melulu, menyebalkan. Mereka bilang ini, bilang itu. Kuno? Mereka bilang aku kuno.
            Dingklik~ tempat duduk saat membatik, mulai diacuhkan. Orang-orang ini lebih suka duduk di atas bantal. Mereka selalu berkata tentang modern. Ah apa sih? Setahuku modern hanya ada di pikiran mereka tidak mau repot, tidak mau tahu proses, maunya serba instan tanpa peduli nilai historisnya.
Aku ingin berontak kawan, saat mereka mulai berpaling. Melemparku hanya karena aku dianggap sebuah alat kuno, merepotkan.
Eits… tapi kan aku hanya sebuah canting.
Hanya sebuah canting, benda yang setia menemani perjalanan keluarga Asep dari mulai awal berdirinya pondok batik ini hingga sekarang.
Tak mudah bagiku bertahan, meyakinkan hati Asep untuk tetap melestarikan budaya yang menjadi identitas bangsa ditengah tuntutan zaman yang memaksa segala produksi serba cepat.
“Pak, apa gak tertarik seperti pengusaha lain yang beralih ke usaha batik cetak? atau pakaian modern gitu? Kan produksinya bisa lebih cepat, praktis dan mudah dipasarkan?” ucap Mira~ pegawai berbadan kurus, telah bekerja selama enam tahun, mencoba mengeluarkan pendapat. Tak hanya Mira, telah banyak keluarga dan kerabat Asep yang berkata demikian.
Kaila-19 tahun, putri semata wayang Asep paling tidak setuju dengan pendapat banyak orang. Mendengar ucapan Mira – Kaila menghentikan pekerjaannya. Berdiri ke arah Asep.
“Tidak Yah, kita harus tetap melestarikan batik tulis. Bagaimanapun kondisinya, warisan nenek moyang ini tidak boleh dirubah hanya karena tuntutan zaman, Kaila gak setuju sama pendapat Mbak Mira” ucapnya dengan tegas. Mira tenggelam menahan malu. Karyawan lain tidak ada yang berani menatap Kaila. Suasana menjadi senyap. Lagi, Mira tercekat. Oh aku sangat bahagia.
Kaila memperlakukanku dengan sangat baik, bahkan ketika diriku dicelupkan ke dalam malam yang panas.
***
Pagi ini, seorang ibu turun dari sedan hitam dengan tergopoh-gopoh. Tubuh gempal agaknya menyulitkan ia menaiki anak tangga rumah Asep. Seorang pemuda berkemeja putih menggandengnya penuh cinta ~ mungkin anaknya, pikirku.
Keluarga ini menyambut kedua tamunya dari kota dengan ramah
“Selamat datang di gubuk kami, Bu Teguh dan Mas Galang” . tutur Asep seraya menjabat tangan pemuda itu dengan mantap. Ia pun tersenyum.
“Hah capeknya ! sulit sekali menyusuri pedalaman kampung ini” ucap wanita paruh baya itu dengan agak ketus. Namun segera ia mengalihkan perhatian agar tidak menyinggung tuan rumah.
“Oh ini yang namanya Cirebon, indah sekali ya pak. Alamnya masih asri, senang bisa berkunjung ke rumah Bapak” senyum tersungging di bibirnya. Manis sekali.
Pak Asep mempersilahkan tamunya masuk, kaila dan ibunya mengerti apa yang harus mereka kerjakan. Bergegas ke dapur  dan kembali dengan membawa minuman dan suguhan terbaik.
Tapi aku kan hanya sebuah canting ~ tak ada yang bisa ku lakukan untuk membantu mereka, hanya mampu berdecak kagum memandangi ketampanan pemuda itu dari atas meja saat detik pertama kedatangannya. Terlebih sopan tuturnya saat berkata, aku jadi ragu apa benar  ia lahir dari wanita yang kelihatannya judes itu?
Aahhh canting, bukan hakmu memberi komentar. Biarlah aku hanya mencuri dengar pada obrolan yang sedang berlangsung khidmat itu.
“Saya ingin memesan gaun batik untuk pernikahan putri sulung saya. Saya dengar dari teman arisan, katanya motif dan rancangan batik disini bagus. Tenang saja, modelnya sudah saya siapkan” ucap wanita itu, menyodorkan sebuah kertas sketsa.
            Asyikkk… aku akan dipakai lagi, sorakku.
“Ah ibu bisa saja, memang betul kami sering menerima orderan gaun pengantin dan macam-macam kerajinan dari kain batik. Kalau boleh tahu, pesanannya untuk kapan ya Bu?” rona bahagia terpancar dari wajah Asep.
“Pernikahan kakak saya  tinggal dua puluh hari lagi. Kami menginginkan pesanan ini selesai tiga hari sebelum hari-H. Bagaimana Bapak sanggup mengerjakannya?”  kali ini Galang mencuri kata. Kaila berdecit.
“Tujuh belas hari saja Mas?, apa tidak terlalu cepat. Saya biasa mengerjakan pesanan gaun ini paling cepat sebulan?” wajah Kaila membiru.
Bu teguh mengerutkan kening. “Oh tidak bisa, kami menginginkan gaun itu selesai tepat waktu? Bagaimana mau terima apa tidak?” suaranya meninggi.
“Tapi bu….” Asep meragu
“Kalau bapak tidak siap, kami akan cari pembatik lain di sekitar sini”
Tidak ada pilihan lain untuk mundur, bagaimanapun mereka telah datang jauh dari pusat kota demi gaun itu, bagaimana bisa Asep menolak. Kaila terlanjur menerima tantangan ini. Aku hanya berdo’a, semoga tak ada halangan berarti.
            Di akhir pertemuan,  kedua bola mata Galang menjurus padaku. Upsh… diriku mendadak gugup. Aku tidak percaya, pemuda itu begitu khidmat memandangi. Lalu berjalan perlahan ke arahku. “ Cantik” ucapnya lirik.
            Dia bilang aku cantik. Apa yang membuatnya berdecak kagum? Kecantikanku? Penyangga besi yang menopangku? Atau meja sudut ukiran Jeparakah yang ia kagumi? Ahhh… aku hanya sebuah canting, jangan ge-er deh.
 “Ini punyamu?” tanyanya pada kaila yang mematung di depan pintu.
“Betul, canting ini yang akan digunakan untuk menyelesaikan gaun pesanan mas” ucap Kaila kikuk. Galang tersenyum kepadanya.
“Cantingnya sangat cantik, sama sepertimu. Mudah-mudahan hasilnya pun bisa cantik” Galang menggoda kaila. Rona pipi gadis lugu ini memerah. Uhhh, aku cemburu dibuatnya.
“Galang cepat, takut kemalaman sampai Jakarta” suara itu memanggil, Bu Teguh telah menunggunya di depan mobil. Galang menaruhku kembali dengan sangat hati-hati.
“Kaila, kalau kamu sempat. Tolong buatkan gaunnya dua ya, bisa kan?”
“Loh kenapa mas, ibu kan pesannya hanya satu?” Kaila terheran
“Ya gak papa, buat seseorang”
“Buat calon Mas Galang?”
Galang mengangguk, tersenyum malu sambil menggaruk rambut kepalanya yang hitam mengkilat. Rona di pipi kaila memudar. Ah mungkinkah Kaila cemburu? rasanya terlalu cepat jika ia menaruh simpati pada lawan jenis yang baru dikenalnya. Tapi bisa saja, pesona Galang sangat mungkin memikat wanita dalam waktu yang singkat. Uhhh wanita, gerutuku.
***
Perjumpaan pagi itu menyisakan kesan di hati Kaila, tak jarang Kaila menyebut nama Galang  dalam kondisi apapun. Kaila yang memilih mengerjakan gaun itu sendiri. Entahlah apa yang membuatnya begitu semangat mengerjakannya. Memang ini bukan pertama kalinya ia menerima tantangan dari pelanggan. Namun rasanya ada yang aneh. Ah mungkin hanya perasaanku yang berlebihan.
Ping… sebuah pesan urgent terlampir di layar handphone kaila. Dengan semangat kaila membukanya.
Dari mas galang
“Salam kaila, bagaimana proyek gaun pengantinnya. Sudah sejauh mana?”
Kaila gemetar. Matanya berbinar. Ia gugup. Sangat gugup, walau yang ia hadapi hanya sebuah SMS.
Dengan terbata ia menjawab
“Sudah  lima puluh persen Mas Galang” jawabnya singkat meyakinkan.
            Aku hanya sebuah canting, yang diam-diam mengagumi Kaila.
Syukur, mungkin Tuhan ingin aku merasakannya. Keluarga ini begitu peduli dengan nilai budaya ~ warisan nenek moyang ini harus dipertahankan, sekalipun negara lain menyerang, mengklaim batik miliknya.
“Kaila, gimana gaunnya?” ucap ayah dengan cemas. “Bu teguh menaruh harapan besar pada kerjaanmu”
“Ayah gak usah khawatir, Kaila akan terus lembur untuk menyelesaikan pesanan ini?”
“Jangan terlalu memaksakan juga kaila, kalau memang tidak sanggup bisa kita batalkan saja”
“Tidak yah, propesional adalah kewajiban kita sebagai pemberi jasa, ini sudah setengah jalan. Aku tak ingin mereka kecewa ”
Ah wanita ini, ku rasa ia terlalu baik. Sikapnya selalu merendah jika sudah berhadapan dengan pelanggan. Bukan semata karena uang yang kaila harapkan dari pekerjaan ini. Lebih dari itu, ia tulus melakukannya.
            Dari ayahnya Kaila tahu bahwa Bu Teguh ini adalah pengusaha kain songket dari Palembang, suaminya yang berasal dari Australia menaruh kecintaan pada keragaman budaya Indonesia. Sebenarnya bisa saja ia memilih gaun Sumatra untuk pernikahan putrinya. Tapi batik sudah terlanjur melekat di hatinya.
“Saya mengundang banyak tamu dari luar negeri. Jadi tolong kerjakan pesanan saya ini dengan sebaik-baiknya ya Kaila?”
Kaila ingat betul perkataan Bu Teguh saat itu. Karenanya ia bersikeras mengerjakan pekerjaan ini, dua gaun batik yang dipesan harus selesai sebelum hari-H.
***
Galang datang ke rumah Kaila tanpa terduga. Jelas, Kaila kaget dibuatnya. “Kaila, kamu tampak kurus. Pasti bergadang terus ya ?” ucapnya. Kaila menunduk. Gugup. Sorot mata Galang terpancang lurus ke arahnya. Aku malu melihatnya, ah rasanya aku ingin pergi saja meninggalkan mereka berdua.
“Nggak Kok ” ucapnya berdalih “kok Mas Galang gak bilang mau kesini?”
            Galang menjelaskan kedatangannya hanya sekedar mampir usai berkunjung ke rumah temannya di Bandung. Kaila memperlihatkan gaun kedua yang hampir saja diselesaikannya. Galang mengangguk kagum, saat gaun anggun berwarna merah marun berpadu warna emas itu diperlihatkan.
“Aku baru sekarang melihat gaun secantik ini, kamu menyelesaikannya sendiri kaila?”. Kaila mengiyakan. Sebuah rasa aneh berpendar pada keduanya,  melalui sorot mata dan cara mereka memuji satu sama lain. Kaila hampir berhasil mengerjakan pekerjaan lebih cepat dari waktu yang diminta. Luar biasa, meski sebenarnya aku lelah tapi kailalah yang lebih lelah.
***
Mungkinkah hari ini awal dari kenestapaanku? Atau mungkin akhir dari peranku?
Galang melakukan kesalahan. Kakinya tersandung benang yang terjuntai dari gawangan, hingga tubuhnya hilang keseimbangan lalu tanpa sengaja menjatuhkan wajan tempat malam dan aku berada. Lalu…
 Ddrrrreeeekkkk…
Keras sepatu galang menginjakku, tubuhku retak terbelah dan penyok. Retak… tak berarti, aku yang sudah tua begitu rapuh. Galang kaget ~ ia membekap mulutnya sendiri.
Kaila menangkupkan tangan ke wajahnya, seolah tak percaya. “cantingku” asanya memudar.
Galang sangat menyesal. Pertemuan keduanya ternoda. Hanya dalam hitungan detik, ia berhasil melukai gadis yang mulai dikaguminya. “Ceroboh sekali kamu galang” sesalnya. Kaila berurai air mata, berlalu ke kamarnya dengan sesal.
Aku … terkapar tak berarti diantara benda cair yang pekat.
***
Potongan tubuhku kini berada di tangan Galang. Lelaki ini sangat menyesal. ENTAH~ apa yang membuatnya begitu memikirkan kejadian itu. Ia masih berharap kaila mau memaafkannya dan datang di acara penting keluarganya.
Harapan galang tak bertepi ~ seseorang dengan gaun batik mega mendung tidak tampak hingga acara usai.
“Kaila masih marah” gerutu batin Galang. Aku melihat dari sudut meja tamu dengan sangat miris. Puluhan pasang mata nanar menatapku yang tak ubahnya seperti rongsokan. Mungkin terlintas dalam pikiran mereka. “Ngapain sih benda jelek ini ada di meja tamu?”.
Tidakkkk….
Galang membawaku menjauh dari tempat asing tadi, ke suatu tempat yang entah aku tak  tahu apa namanya. Aku melihat, banyak kawanku di sana. Tersenyum ramah dari balik kaca etalase.
            Galang bernegosiasi dengan pemilik toko. Tampak serius, namun kemudian berakhir senyuman diantara keduanya.
 “Hai” sapaku pada kawan baru, sebuah canting cantik dan fresh. Aku yakin sang pemilik toko merawatnya dengan sangat baik. Ia tersenyum ramah.
“Hai juga, kenapa tubuhmu hancur seperti itu kawan? Siapakah dirimu?”
“Lelaki yang membawamu dari toko itu yang membuatku begini, aku adalah sebuah canting yang telah menemani kaila bertahun-tahun. Dan karena kesalahan dia, kaila menjadi sangat kecewa. Karena itulah ia menjemputmu sebagai gantiku nanti” air mataku jatuh juga, menerawang menatap hamaparan padi yang menguning sepanjang jalan.
“Ya ampun, maafkan Galang ya kawan, sungguh aku tidak enak padamu”
“Tidak apa kawan, mungkin memang sudah waktunya aku istirahat.Semoga dengan adanya kamu Kaila tidak marah lagi”
Mobil Galang tiba juga di halaman rumah Kaila. Diketuknya pintu itu. Asep telah berdiri di sana. Galang mengutarakan niat tulusnya di hadapan kedua orang tua Kaila. Kesepakatanpun terjadi, ketiganya telah sama-sama mengikhlaskan. Diketuknya pintu kamar Kaila. Sosok gadis dengan gaun merah marun keluar dari daun pintu.
Galang terkaget “Kaila, kau?”
“Kenapa Mas? Maaf aku lancang mencoba mengenakan gaun ini?” ucapnya gugup. Kaila hanya bermaksud mencobanya. Galang menggelengkan kepala, lalu tersenyum.
“Tidak Kaila. Gaun itu memang untukmu. Kaulah yang akan mengenakannya di hari bahagia kita” Galang terharu seraya tak berpaling memandangi kecantikan Kaila.
“Maksudmu Mas? Bagaimana dengan orang tuaku?”
“Aku telah meminangmu dengan sebuah canting dari emas yang ku pesan khusus untukmu, bersediakah kau menerima pinanganku ini Kaila?” tutur Galang, meraih tangan Kaila dan menyerahkan canting yang indah di tangan gadis manis itu.
Senyum bahagiapun terpendar di rumah kecil ini, Kaila tak menolak sedikitpun. Aku canting ~ menjadi saksi bertemunya dua hati anak manusia. Hingga aku merasa tubuhku dingin dan mataku terlelap sangat dalam [].
Depok, 23 Maret 2013

Keterangan :
Canting           : alat untuk membatik, biasanya terbuat dari tembaga yang ujungnya menyerupai paruh buruh
Gawangan      : tempat untuk meletakkan kain yang akan dibatik, terbuat dari bambu atau kayu
Malam / lilin    : cairan untuk membatik
Songket            : kain tenunan    tradisional Melayu
             

Tidak ada komentar:

Posting Komentar