PAYAH~ orang-orang
ini selalu saja mengeluh. Bosan aku mendengarnya. Bertutur masalah efektif dan
efisien melulu, menyebalkan. Mereka bilang ini, bilang itu. Kuno? Mereka bilang
aku kuno.
Dingklik~
tempat duduk saat membatik, mulai diacuhkan. Orang-orang ini lebih suka duduk di
atas bantal. Mereka selalu berkata tentang modern. Ah apa sih? Setahuku modern
hanya ada di pikiran mereka tidak mau repot, tidak mau tahu proses, maunya
serba instan tanpa peduli nilai historisnya.
Aku ingin
berontak kawan, saat mereka mulai berpaling. Melemparku hanya karena aku
dianggap sebuah alat kuno, merepotkan.
Eits… tapi
kan aku hanya sebuah canting.
Hanya sebuah
canting, benda yang setia menemani perjalanan keluarga Asep dari mulai awal
berdirinya pondok batik ini hingga sekarang.
Tak mudah bagiku
bertahan, meyakinkan hati Asep untuk tetap melestarikan budaya yang menjadi
identitas bangsa ditengah tuntutan zaman yang memaksa segala produksi serba
cepat.
“Pak, apa gak tertarik seperti
pengusaha lain yang beralih ke usaha batik cetak? atau pakaian modern gitu? Kan
produksinya bisa lebih cepat, praktis dan mudah dipasarkan?” ucap Mira~ pegawai
berbadan kurus, telah bekerja selama enam tahun, mencoba mengeluarkan pendapat.
Tak hanya Mira, telah banyak keluarga dan kerabat Asep yang berkata demikian.
Kaila-19 tahun,
putri semata wayang Asep paling tidak setuju dengan pendapat banyak orang.
Mendengar ucapan Mira – Kaila menghentikan pekerjaannya. Berdiri ke arah Asep.
“Tidak Yah, kita harus tetap
melestarikan batik tulis. Bagaimanapun kondisinya, warisan nenek moyang ini
tidak boleh dirubah hanya karena tuntutan zaman, Kaila gak setuju sama pendapat
Mbak Mira” ucapnya dengan tegas. Mira tenggelam menahan malu. Karyawan lain
tidak ada yang berani menatap Kaila. Suasana menjadi senyap. Lagi, Mira
tercekat. Oh aku sangat bahagia.
Kaila
memperlakukanku dengan sangat baik, bahkan ketika diriku dicelupkan ke dalam malam
yang panas.
***
Pagi ini,
seorang ibu turun dari sedan hitam dengan tergopoh-gopoh. Tubuh gempal agaknya
menyulitkan ia menaiki anak tangga rumah Asep. Seorang pemuda berkemeja putih
menggandengnya penuh cinta ~ mungkin anaknya, pikirku.
Keluarga ini
menyambut kedua tamunya dari kota dengan ramah
“Selamat datang di gubuk kami, Bu
Teguh dan Mas Galang” . tutur Asep seraya menjabat tangan pemuda itu dengan
mantap. Ia pun tersenyum.
“Hah capeknya ! sulit sekali
menyusuri pedalaman kampung ini” ucap wanita paruh baya itu dengan agak ketus. Namun segera ia mengalihkan perhatian agar tidak
menyinggung tuan rumah.
“Oh ini yang namanya Cirebon, indah
sekali ya pak. Alamnya masih asri, senang bisa berkunjung ke rumah Bapak” senyum
tersungging di bibirnya. Manis sekali.
Pak Asep
mempersilahkan tamunya masuk, kaila dan ibunya mengerti apa yang harus mereka
kerjakan. Bergegas ke dapur dan kembali
dengan membawa minuman dan suguhan terbaik.
Tapi aku kan
hanya sebuah canting ~
tak ada yang bisa ku lakukan untuk membantu mereka, hanya mampu berdecak kagum
memandangi ketampanan pemuda itu dari atas meja saat detik pertama
kedatangannya. Terlebih sopan tuturnya saat berkata, aku jadi ragu apa benar ia lahir dari wanita yang kelihatannya judes
itu?
Aahhh canting, bukan hakmu memberi komentar. Biarlah
aku hanya mencuri dengar pada obrolan yang sedang berlangsung khidmat itu.
“Saya ingin memesan gaun batik untuk
pernikahan putri sulung saya. Saya dengar dari teman arisan, katanya motif dan
rancangan batik disini bagus. Tenang saja, modelnya sudah saya siapkan” ucap
wanita itu, menyodorkan sebuah kertas sketsa.
Asyikkk…
aku akan dipakai lagi, sorakku.
“Ah ibu bisa saja, memang betul kami
sering menerima orderan gaun pengantin dan macam-macam kerajinan dari kain
batik. Kalau boleh tahu, pesanannya untuk kapan ya Bu?” rona bahagia terpancar
dari wajah Asep.
“Pernikahan kakak saya tinggal dua puluh hari lagi. Kami
menginginkan pesanan ini selesai tiga hari sebelum hari-H. Bagaimana Bapak
sanggup mengerjakannya?” kali ini Galang
mencuri kata. Kaila berdecit.
“Tujuh belas hari saja Mas?, apa
tidak terlalu cepat. Saya biasa mengerjakan pesanan gaun ini paling cepat
sebulan?” wajah Kaila membiru.
Bu teguh mengerutkan kening. “Oh
tidak bisa, kami menginginkan gaun itu selesai tepat waktu? Bagaimana mau
terima apa tidak?” suaranya meninggi.
“Tapi bu….” Asep meragu
“Kalau bapak tidak siap, kami akan
cari pembatik lain di sekitar sini”
Tidak ada
pilihan lain untuk mundur, bagaimanapun mereka telah datang jauh dari pusat
kota demi gaun itu, bagaimana bisa Asep menolak. Kaila terlanjur menerima
tantangan ini. Aku hanya berdo’a, semoga tak ada halangan berarti.
Di
akhir pertemuan, kedua bola mata Galang
menjurus padaku. Upsh… diriku mendadak gugup. Aku tidak percaya, pemuda itu
begitu khidmat memandangi. Lalu berjalan perlahan ke arahku. “ Cantik” ucapnya
lirik.
Dia
bilang aku cantik. Apa yang membuatnya berdecak kagum? Kecantikanku? Penyangga
besi yang menopangku? Atau meja sudut ukiran Jeparakah yang ia kagumi? Ahhh…
aku hanya sebuah canting, jangan ge-er deh.
“Ini punyamu?” tanyanya pada kaila yang
mematung di depan pintu.
“Betul, canting ini yang akan
digunakan untuk menyelesaikan gaun pesanan mas” ucap Kaila kikuk. Galang
tersenyum kepadanya.
“Cantingnya sangat cantik, sama
sepertimu. Mudah-mudahan hasilnya pun bisa cantik” Galang menggoda kaila. Rona
pipi gadis lugu ini memerah. Uhhh, aku cemburu dibuatnya.
“Galang cepat, takut kemalaman
sampai Jakarta” suara itu memanggil, Bu Teguh telah menunggunya di depan mobil.
Galang menaruhku kembali dengan sangat hati-hati.
“Kaila, kalau kamu sempat. Tolong
buatkan gaunnya dua ya, bisa kan?”
“Loh kenapa mas, ibu kan pesannya
hanya satu?” Kaila terheran
“Ya gak papa, buat seseorang”
“Buat calon Mas Galang?”
Galang
mengangguk, tersenyum malu sambil menggaruk rambut kepalanya yang hitam
mengkilat. Rona di pipi kaila memudar. Ah mungkinkah Kaila cemburu? rasanya
terlalu cepat jika ia menaruh simpati pada lawan jenis yang baru dikenalnya. Tapi
bisa saja, pesona Galang sangat mungkin memikat wanita dalam waktu yang
singkat. Uhhh wanita, gerutuku.
***
Perjumpaan
pagi itu menyisakan kesan di hati Kaila, tak jarang Kaila menyebut nama Galang dalam kondisi apapun. Kaila yang memilih
mengerjakan gaun itu sendiri. Entahlah apa yang membuatnya begitu semangat
mengerjakannya. Memang ini bukan pertama kalinya ia menerima tantangan dari
pelanggan. Namun rasanya ada yang aneh. Ah mungkin hanya perasaanku yang
berlebihan.
Ping…
sebuah pesan urgent terlampir di layar handphone kaila. Dengan semangat kaila
membukanya.
Dari mas galang
“Salam kaila, bagaimana
proyek gaun pengantinnya. Sudah sejauh mana?”
Kaila
gemetar. Matanya berbinar. Ia gugup. Sangat gugup, walau yang ia hadapi hanya
sebuah SMS.
Dengan terbata ia menjawab
“Sudah lima puluh persen Mas Galang” jawabnya singkat
meyakinkan.
Aku hanya sebuah canting, yang diam-diam mengagumi
Kaila.
Syukur,
mungkin Tuhan ingin aku merasakannya. Keluarga ini begitu peduli dengan nilai
budaya ~ warisan nenek moyang ini harus dipertahankan, sekalipun negara lain
menyerang, mengklaim batik miliknya.
“Kaila,
gimana gaunnya?” ucap ayah dengan cemas. “Bu teguh menaruh harapan besar pada
kerjaanmu”
“Ayah
gak usah khawatir, Kaila akan terus lembur untuk menyelesaikan pesanan ini?”
“Jangan
terlalu memaksakan juga kaila, kalau memang tidak sanggup bisa kita batalkan
saja”
“Tidak
yah, propesional adalah kewajiban kita sebagai pemberi jasa, ini sudah setengah
jalan. Aku tak ingin mereka kecewa ”
Ah
wanita ini, ku rasa ia terlalu baik. Sikapnya selalu merendah jika sudah
berhadapan dengan pelanggan. Bukan semata karena uang yang kaila harapkan dari
pekerjaan ini. Lebih dari itu, ia tulus melakukannya.
Dari
ayahnya Kaila tahu bahwa Bu Teguh ini adalah pengusaha kain songket dari
Palembang, suaminya yang berasal dari Australia menaruh kecintaan pada
keragaman budaya Indonesia. Sebenarnya bisa saja ia memilih gaun Sumatra untuk
pernikahan putrinya. Tapi batik sudah terlanjur melekat di hatinya.
“Saya
mengundang banyak tamu dari luar negeri. Jadi tolong kerjakan pesanan saya ini
dengan sebaik-baiknya ya Kaila?”
Kaila
ingat betul perkataan Bu Teguh saat itu. Karenanya ia bersikeras mengerjakan
pekerjaan ini, dua gaun batik yang dipesan harus selesai sebelum hari-H.
***
Galang
datang ke rumah Kaila tanpa terduga. Jelas, Kaila kaget dibuatnya. “Kaila, kamu
tampak kurus. Pasti bergadang terus ya ?” ucapnya. Kaila menunduk. Gugup. Sorot
mata Galang terpancang lurus ke arahnya. Aku malu melihatnya, ah rasanya aku
ingin pergi saja meninggalkan mereka berdua.
“Nggak
Kok ” ucapnya berdalih “kok Mas Galang gak bilang mau kesini?”
Galang menjelaskan kedatangannya hanya
sekedar mampir usai berkunjung ke rumah temannya di Bandung. Kaila
memperlihatkan gaun kedua yang hampir saja diselesaikannya. Galang mengangguk
kagum, saat gaun anggun berwarna merah marun berpadu warna emas itu diperlihatkan.
“Aku
baru sekarang melihat gaun secantik ini, kamu menyelesaikannya sendiri kaila?”.
Kaila mengiyakan. Sebuah rasa aneh berpendar pada keduanya, melalui sorot mata dan cara mereka memuji satu
sama lain. Kaila hampir berhasil mengerjakan pekerjaan lebih cepat dari waktu
yang diminta. Luar biasa, meski sebenarnya aku lelah tapi kailalah yang lebih
lelah.
***
Mungkinkah
hari ini awal dari kenestapaanku? Atau mungkin akhir dari peranku?
Galang
melakukan kesalahan. Kakinya tersandung benang yang terjuntai dari gawangan,
hingga tubuhnya hilang keseimbangan lalu tanpa sengaja menjatuhkan wajan tempat
malam dan aku berada. Lalu…
Ddrrrreeeekkkk…
Keras
sepatu galang menginjakku, tubuhku retak terbelah dan penyok. Retak… tak
berarti, aku yang sudah tua begitu rapuh. Galang kaget ~ ia membekap mulutnya
sendiri.
Kaila
menangkupkan tangan ke wajahnya, seolah tak percaya. “cantingku” asanya
memudar.
Galang
sangat menyesal. Pertemuan keduanya ternoda. Hanya dalam hitungan detik, ia
berhasil melukai gadis yang mulai dikaguminya. “Ceroboh sekali kamu galang”
sesalnya. Kaila berurai air mata, berlalu ke kamarnya dengan sesal.
Aku
… terkapar tak berarti diantara benda cair yang pekat.
***
Potongan
tubuhku kini berada di tangan Galang. Lelaki ini sangat menyesal. ENTAH~ apa
yang membuatnya begitu memikirkan kejadian itu. Ia masih berharap kaila mau
memaafkannya dan datang di acara penting keluarganya.
Harapan
galang tak bertepi ~ seseorang dengan gaun batik mega mendung tidak tampak
hingga acara usai.
“Kaila
masih marah” gerutu batin Galang. Aku melihat dari sudut meja tamu dengan
sangat miris. Puluhan pasang mata nanar menatapku yang tak ubahnya seperti
rongsokan. Mungkin terlintas dalam pikiran mereka. “Ngapain sih benda jelek ini
ada di meja tamu?”.
Tidakkkk….
Galang
membawaku menjauh dari tempat asing tadi, ke suatu tempat yang entah aku
tak tahu apa namanya. Aku melihat,
banyak kawanku di sana. Tersenyum ramah dari balik kaca etalase.
Galang bernegosiasi dengan pemilik
toko. Tampak serius, namun kemudian berakhir senyuman diantara keduanya.
“Hai” sapaku pada kawan baru, sebuah canting
cantik dan fresh. Aku yakin sang pemilik toko merawatnya dengan sangat baik. Ia
tersenyum ramah.
“Hai
juga, kenapa tubuhmu hancur seperti itu kawan? Siapakah dirimu?”
“Lelaki
yang membawamu dari toko itu yang membuatku begini, aku adalah sebuah canting
yang telah menemani kaila bertahun-tahun. Dan karena kesalahan dia, kaila
menjadi sangat kecewa. Karena itulah ia menjemputmu sebagai gantiku nanti” air
mataku jatuh juga, menerawang menatap hamaparan padi yang menguning sepanjang
jalan.
“Ya
ampun, maafkan Galang ya kawan, sungguh aku tidak enak padamu”
“Tidak
apa kawan, mungkin memang sudah waktunya aku istirahat.Semoga dengan adanya
kamu Kaila tidak marah lagi”
Mobil
Galang tiba juga di halaman rumah Kaila. Diketuknya pintu itu. Asep telah
berdiri di sana. Galang mengutarakan niat tulusnya di hadapan kedua orang tua
Kaila. Kesepakatanpun terjadi, ketiganya telah sama-sama mengikhlaskan.
Diketuknya pintu kamar Kaila. Sosok gadis dengan gaun merah marun keluar dari
daun pintu.
Galang
terkaget “Kaila, kau?”
“Kenapa
Mas? Maaf aku lancang mencoba mengenakan gaun ini?” ucapnya gugup. Kaila hanya
bermaksud mencobanya. Galang menggelengkan kepala, lalu tersenyum.
“Tidak
Kaila. Gaun itu memang untukmu. Kaulah yang akan mengenakannya di hari bahagia
kita” Galang terharu seraya tak berpaling memandangi kecantikan Kaila.
“Maksudmu
Mas? Bagaimana dengan orang tuaku?”
“Aku
telah meminangmu dengan sebuah canting dari emas yang ku pesan khusus untukmu, bersediakah kau menerima pinanganku ini Kaila?” tutur Galang, meraih tangan Kaila
dan menyerahkan canting yang indah di tangan gadis manis itu.
Senyum
bahagiapun terpendar di rumah kecil ini, Kaila tak menolak sedikitpun. Aku
canting ~ menjadi saksi bertemunya dua hati anak manusia. Hingga aku merasa
tubuhku dingin dan mataku terlelap sangat dalam [].
Depok,
23 Maret 2013
Keterangan
:
Canting : alat untuk
membatik, biasanya terbuat dari tembaga yang ujungnya menyerupai paruh buruh
Gawangan : tempat untuk meletakkan
kain yang akan dibatik, terbuat dari bambu atau kayu
Malam
/ lilin : cairan
untuk membatik
Songket : kain tenunan tradisional Melayu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar