Selasa, 08 April 2014

7 Days With Australian Girl


“Aku gak  magang liburan kuliah ini, tapi mengurus satu acara sama organisasiku di luar kampus ” tuturku setiapkali di todong pertanyaan yang sama oleh teman-teman kampus yang sudah mendapat tempat magang.
            Sebetulnya ini bukan kali pertama aku nganggur di liburan panjang semester genap. Tahun lalu aku juga absen dari magang, dan berdiam di rumah selama dua bulan. Akhir semester empat ini terjadi lagi. Bukan karena tidak dapat tempat magang,  tapi karena aku ingin mengejar target menulis novel dan mengurus organisasi yang baru dibentuk dua bulan terakhir. Aku  tidak hanya memilih untuk aktif di organisasi kampus, namun mulai mencari kesibukan baru di organisasi yang lebih luas lingkupnya sejak semester tiga. Brilliantz management, organisasi yang bergerak di bidang training dan pelatihan ini beranggotakan sepuluh orang dari enam universitas di Jakarta dan Depok. 
            Butuh waktu sekitar sebulan untuk menyiapkan acara besar pertama kami yang melibatkan peserta SD-SMP ini. Acara untuk mengisi liburan di bulan Ramadhan , atau lebih familiar dengan pesantren kilat kami beri nama “Ramadhan Ceria”.  Kami menggunakan sebuah yayasan pemuda muslim di Jakarta Selatan sebagai lokasi acara “Ramadhan Ceria” dilaksanakan.
 “Besok pagi panitia sudah di lokasi . Kita harus menyiapkan  perlengkapan , mengkondisikan tempat  , memasang banner dan lain sebagainya karena peserta akan datang pukul tiga sore diantar orangtuanya”  Sebuah pesan singkat masuk di ponselku, dari  Ian selaku ketua pelaksana acara. Aku mulai berkemas menyiapkan pakaian dan perlengkapan untuk tujuh hari menginap di sana. Kak siska sebagai penanggung jawab acara melaporkan bahwa ada dua belas peserta yang mendaftar.
Pukul dua siang , saat aku sedang menyiapkan perlengkapan yang dibutuhkan di meja registrasi, sebuah mobil sedan hitam memasuki lokasi. Sepasang suami istri menghampiriku dan mendaftarkan  kedua anaknya, Alisha dan Raisha yang masing-masing berusia 10 dan 9 tahun. Aku tersenyum menyambutnya, lalu membantunya memasukkan perbekalan kedua anak ini. Setiap peserta membawa alat tidur sendiri dan perlengkapan selama seminggu. Selama acara ini berlangsung, orang tua hanya boleh menjenguk dan tidak dianjurkan menginap karena dikhawatirkan akan menggangu aktivitas peserta. Selama seminggu peserta akan diberikan pelatihan character building, materi kepemimpinan dan goal dari acara ini adalah peserta mampu menghafal surat ar-rahman.
Menjelang jam tiga sore, kak siska mendatangiku di depan ruangan ramadhan ceria.
“May, nanti ada peserta yang bule juga loh. Kamu siap-siap ya..”
“Hah bule? Serius? Bule dari mana?”
“Dari Australia, tapi mamihnya orang Jakarta kok. Tenang aja. Nanti kamu yang ngurusin dia ya may”, tuturnya sambil tersenyum.
“Hah gak mau, bahasa inggrisku berantakan. Aku bingung nanti ngomong apa kak. Ih kok gak bilang dari awal  kalau bakalan ada bule juga, kan bisa belajar bahasa inggris dulu nih..”, ujarku dengan nada sedikit sesal.
“Iya lupa, udah gak apa-apa ya may. Sekalian nanti aja belajarnya. Aku juga gak pede ngomong inggris. Tapi kan kamu lebih pemberani tuh may… hehe ”

Aku  gerogi bukan main, walaupun sebenarnya hati sangat senang dengan kabar ini. Yang aku khawatirkan adalah bagaimana nanti berkomunikasi dengannya sementara aku merasa sangat kurang dalam praktik bahasa Inggris. Aku down memikirkan hal  ini.
Tidak lama, sosok ibu berjilbab pink datang dengan dua orang anak perempuan dan seorang anak laki-laki menghampiriku di meja registrasi.
“Ini tempat pesantren kilat bukan mbak?” ucapnya ramah. Aku mengangguk dan menyalaminya.
“Saya mau daftarin tiga orang sebenarnya mbak. Tapi pas tadi di mobil,  abangnya gak mau nih. Susah komunikasi soalnya gak bisa bahasa Indonesia. Jadi adiknya saja, Hannah sama keponakan saya  Rere” ucapnya sambil mengisi formulir pendaftaran. Mataku langsung tertuju  sosok mungil bergamis ungu  itu. Cantik sekali… puji batinku. Segera aku tawarkan beberapa pulpen, buku tulis dan kaos seragam untuk mereka pilih. Hannah menarik-narik tangan Rere, mengajaknya bermain. Mamih menjelaskan kepadaku bahwa  Hannah belum lancar membaca Al-qur’an namun sudah mengenal huruf-huruf hijaiyah. Ia baru kelas 1 sekolah dasar di Australia.
Hannah Davis, Putri Bungsu Mr.Bob Davis dan Ibu Rina dari Perth, Australia

Karena sudah adzan ashar ,  aku mengajak Rere dan Hannah untuk sholat  di lantai dua aula gedung ini sambil menunggu peserta lain datang. Aku mencoba mengajak berbicara perlahan. Hannah tidak berkata banyak, hanya menjawab dengan ucapan “iya”, “menganguk” dan “menggeleng”. Hannah lebih sering bicara dengan Rere. Aku menjadi  bingung memikirkan cara mendekatinya. Sebelum maghrib, semua peserta telah tiba di lokasi dan acara pembukaan dimulai secara resmi dengan simbolik penyematan seragam Ramadhan Ceria yang diwakili oleh Hannah.
Gadis Australia ini masih sangat malu-malu saat peserta lain berebutan ingin berkenalan dengannya. Aku mengajaknya berkomunikasi dengan bahasa Indonesia dan campuran Inggris seperti yang dilakukan Rere. Aktivitas pada malam  pertama kami membimbing peserta  membaca surat ar-rahman secara bersama-sama. Pukul sepuluh malam sebelum tidur, Hannah menangis di ruang tidur. Rere berkata kepadaku bahwa Hannah kangen mamih.  Hannah  menunjukan padaku buku catatan yang berisi nomor telepon mamih.
“Kak, gimana ini? Hannah nangis . minta telpon mamihnya. Apa kita minta mamihnya buat kesini?” tanyaku pada kak siska.
“Jangan may. Udah malam, kasian kalau mamih harus kesini. Aku coba ngomong ke Hannah”, Kak siska menghampiri Hannah yang sedang menangis di atas kasur berwarna pink.
“Hanaah kamu kenapa? Mau telpon mamih?”
“Mamih… mamih… mamih….” Ucap mulut kecilnya sambil terisak-isak dan menyodorkan nomor telepon.
“Hannah mau ngapain telpon mamih?”
“Dia mau minta kiss ka. Biasanya Hannah suka minta kiss  dan dipeluk mamih sebelum tidur”, Rere mencoba menjelaskan apa yang diinginkan Hannah.
Aku tersenyum mendengarnya. Romantis sekali. Namun aku segera mengambil alih, membujuknya  untuk tidak menelpon mamih malam ini. Setelah agak tenang, Hannah kembali tidur ditemani Nia. Aku bergegas ke ruang depan membereskan meja makan. Namun tak lama setelah  meninggalkan ruangan tidur, Nia memanggilku.
“May.. Hannah nangis lagi nih. Kamu gih yang nemenin. Aku bingung sekarang dia perutnya sakit”, ucap Nia lalu menggantikan pekerjaanku.
            Saat aku hampiri, Hannah sedang merengek memegangi perutnya. Aku mengambil minyak kayu putih, lalu mengoleskan dan mengurut perutnya perlahan. Untungnya aku udah biasa ngurus anak-anak kecil, sedikitnya bisa membantu panitia dan anak-anak. Menemaninya dengan bercerita tentang sesuatu hal. Sesekali aku membisikkan kalimat-kalimat penenang.
“Hannah anak shalihah… anak cantik.. tidur ya.. besok mamih kesini..” tuturku sambil terus mengusap-usap tangan dan perutnya. Hannah masih merengek. Hingga seorang peserta terbangun.
 “Kak, Hannah kenapa sih. Kok nangis terus?” tanya yusi dengan mata terkantuk-kantuk.
“Nggak apa-apa… Hannah cuma kangen mamihnya. Kamu bobo ya… takut besok bangun kesiangan”, Yusi kembali menggulung selimutnya. Tujuh orang peserta perempuan tidur sejajar dalam ruangan ini. Mereka dibekali dengan barang-barang pribadi yang biasa menemani tidurnya. Pukul setengah dua belas, Hannah mulai terlelap.
***
Pukul  setengah empat  pagi anak-anak dibangunkan untuk  shalat malam dan makan sahur. Dengan mata terkantuk-kantuk, Hannah  makan di atas kursi panjang bersama Rere. Dia menolak saat aku menawarkan diri untuk menyuapinya.
Hari kedua, panitia dihebohkan dengan Hannah lagi. Umay berlari menemuiku di ruang depan.
“Kak Maya…itu Hannah.. dia mau pup tapi gak bisa di kloset jongkok”  Ucap Umay dengan terburu-buru menghampiriku di ruang depan. Aku segera ke kamar mandi. Benar saja,  Hannah memang terbiasa dengan kloset duduk di rumahnya. Namun akhirnya aku  dapat segera mengatasi masalah ini.
Di hari kedua, peserta dibagi menjadi beberapa kelompok hafalan. Aku mendapat tugas membina empat anak usia 6-7 tahun. Mulanya Hannah tidak mau bicara padaku, namun setelah melewati proses pendekatan  akhirnya dia mau sedikit terbuka dan berbicara dengan bahasa Indonesia yang terbatas, pun aku terkadang bahasa isyarat aku lakukan saat kedua bahasa yang digunakan tidak bisa membuatnya paham. Mengurusi empat anak kecil ini tidak mudah bagiku. Setiap anak punya kapasitas yang berbeda. Untuk Hannah, berhubung lidah australianya sangat pekat aku mengalami kesulitan untuk mengajaknya mengucapkan bahasa Al-qur’an  dengan jelas. Cara membuatnya menghafal adalah mendengarkan apa yang aku ucapkan. Setiap jamnya, Hannah sudah mulai biasa berinteraksi dengan peserta lain . Hampir semua aktivitasnya aku dokumentasikan untuk membuat laporan kepada orang tua.
***
 “Hannah.. yuk ngapalin lagi..” ucapku di hari ketiga. Dia sedang asyik mengotak-atik ponselku. Sesekali lagu barat dia putar dan bernyanyi dengan cueknya. Aku segera mengambil ponsel dari tangannya saat peserta lain yang sedang menghafal mulai terganggu. Hannah sedikit marah saat aku melakukannya.
“Hannah ayo sayang… yuk kita jalan-jalan di depan. Lihat kelinci” ucapku mengalihkan perhatiannya sementara. Hannah sangat suka dengan kelinci dan kucing, tak jarang cara ini aku manfaatnya untuk menarik perhatiannya. Setelah dia cukup puas bermain kelinci pemilik rumah di depan gedung ini aku menggendongnya ke teras depan gedung. Lalu mendudukannya di pangkuanku. Pelan aku bisikkan ke telinganya.
Hannah mulai aktif bergabung dengan peserta lain
“Hannah…. Arrahman…” ucapku
“Arrahman…” ucap mulut kecilnya
“Allamal qur’an.. “
Pelan sekali mulutnya terbuka. Ah lucu sekali anak ini, aku memujinya dalam hati . Tiba-tiba seorang anak lelaki yang paling aktif datang menghampiriku.
“Kak, Hannah udah hapal berapa ayat?” tanyanya sambil  mendekat. Tangannya  jahil mencubit pipi Hannah hingga rona merah membentuk  lingkaran di sana. Hannah berteriak, menepis tangan Raisha.
“Diam !” teriak Hannah.
“Abang raisha jangan gitu nak, hannahnya marah kan?” ucapku sambil menenangkan Hannah. Hannah yang sedang tidak mau menghafal berlari dari pangkuanku saat dua orang peserta lain datang mengajaknya bermain sepeda. Aku mencoba tidak protes.
“Namanya juga anak-anak, gak bisa dipaksa” tenang batinku. Kak Siska datang menghampiri.
 “May , gimana anak-anak bimbingan kamu?”
“Rere sama echi sih udah lebih dari 10 ayat . Tapi masih lupa-lipa sih. Harus diingetin terus”, kataku sambil menuliskan sesuatu di kertas.
“Hannah?” lanjut Kak Siska
“Nah itu dia Kak, susah. Hannah maunya main terus. Udah gitu kan lidahnya gak kaya kita tuh, lafalnya jadi  ga jelas dan tegas”.
“Diusahain terus ya may, anak-anak minimal sehari itu bisa lima belas ayat. Soalnya kita efektif menghafal cuma lima hari. Sehari buat mengulang terus hari terahir wisuda mereka udah gak ngapalin lagi”.  Aku terdiam merasa tidak mampu.
“Gimana dong Kak, aku gak enak sama orang tuanya kalau sampai gagal. Tapi namanya anak-anak kan gak bisa dipaksa ya”. Kak siska meyakinkanku agar tidak mudah putus asa.
Hari menjelang sore, aku segera memanggil anak-anak untuk mandi dan bersiap-siap berbuka puasa. Keduabelas peserta lalu masuk ke kamarnya. Seperti biasa Hannah belum bisa aku lepas pergi ke kamar mandi sendirian. Mulai dari memilih baju, mandi dan hal-hal kecil lainnya aku yang mengurusi. Tak heran jika selama tiga hari pertama Hannah semakin dekat dan terbuka kepadaku dibanding panitia lainnya.
            Sementara anak-anak istirahat menunggu adzan maghrib, panitia menyiapkan hidangan buka yang diantar tim catering kepercayaan kami.
“Ayo semuanya buka” seru panitia saat mendengar suara bedug  . Anak-anak berhamburan mengelilingi meja makan. Usai menyantap hidangan pembuka, yaitu minuman dan kue anak-anak melaksanakan shalat maghrib terlebih dahulu dipimpin oleh imam dari panitia. Kami membiasakan anak-anak supaya tidak langsung makan makanan berat begitu buka. Usia shalat anak-anak menyodori piring kepada panitia. Mataku menangkap si kecil Hannah duduk di kursi beserta peserta lain sambil memakan semangka.
“Hannah mau makan sekarang?” tanyaku. Dia mengangguk dan menghampiriku di samping meja makan.
“mau yang mana lauknya?”
“aku gak suka ini, ini sama ini” ucapnya sambil menunjuk beberapa lauk yang berasal dari sayuran.
“Kok ga mau makan sayur? Hannah maunya sama ayam doang?” dia mengangguk. Sejak hari pertama dia memang tidak memakan makanan lain selain daging.  Aku tidak pernah makan sebelum memastikan Hannah makan duluan, karena semenjak hari kedua Hannah tidak mau makan dengan piring sendiri.
“May kok berdua terus makannya sama Hannah? Biarin Hannah makan sendiri. Nanti dia manja loh sama kamu.” ucap salah seorang temanku.
“Hannah gak mau makan kalau bukan aku yang nyuapin. Aku gak keberatan kok, biar lebih deket juga. Kalau udah deket kan, aku jadi gampang transfer ilmunya.. heheh” ucapku.
            Selesai buka puasa, anak-anak berjamaah shalat isya dan tarawih. Imam shalat tarawih dipimpin secara bergantian oleh panitia dan peserta yang hapalan alqur’annya sudah banyak. Di tengah-tengah shalat tarawih, Hannah menyeletuk mengikuti bacaan surat al-fatihah yang dibaca imam. Saat imam membaca surat kedua, Hannah menyeletuk membaca surat lain yang berbeda dari imam. Dengan logat australianya yang kental dan badannya yang bergerak-gerak, dapat dipastikan hampir semua jamaah dalam satu barisan peserta berusaha menahan tawa karena ulahnya.
“Haduh Hannah… kamu hampir buat semua orang shalatnya batal nak..hehhe” ucapku sampil memeluknya gemas.
“Iya nih Hannah lucubanget sih” ucap panitia lain.
“Iya lucu, dia pintar ya. Aku gak nyangka ternyata dia udah menghafal beberapa surat pendek”, lanjutku.
            Anak-anak mulai mengulang ayat-ayat yang sudah dihapal usai shalat tarawih. Aku kembali mencari Hannah untuk mengajaknya kembali belajar.
“Sayang ngapalin lagi yuk” ucapku hampir menyodorkan tangan. Hannah menyambut tanganku dengan riang dan melompat ke gendonganku.
“Ngapalin lagi ya..”
“Nggak… “ dengan ekspresi wajahnya yang nakal . Aku mencubit pipinya pelan.
“eeh… do you love me Hannah?” begitu jurusku ketika dia mulai nakal. Hannah mengangguk dan aku mulai mengajaknya mengapal di teras depan bersama Rere.
"Do you love me?".. aku mulai membiasakan hannah mengucapkan kalimat ini. bagaimanapun, jurus terbaik mendidik anak bukan dengan suruhan atau memarahinya, tapi mengajarkannya terlebih dahulu mengenal cinta. Membiarkan anak-anak mencintai siapa yang mengasuhnya, agar pengasuh mudah mengajarkan arti cinta yang sebenarnya harus tumbuh di hati mereka, yaitu cinta pada Allah.
            Sebelum tidur aku selalu membisikan ayat-ayat ar-rahman di telinganya, supaya  dia mudah hapal dan tidak asing dengan kalimat-kalimat arab tersebut. Hannah memandangi wajahku yang terus melapalkan ayat-ayat di dekat wajahku.. momen seperti ini yang selalu aku manfaatkan , Hannah baru bisa menghafal di saat  semua peserta sudah terlelap. Aku memposisikan diriku bukan sebagai seorang guru, tapi sebagai pengganti mamihnya sementara waktu. Hannah mulai mengikuti apa yang aku lantunan hingga akhirnya dia merasa lelah dan terlelap.
            Aku tidak pernah bisa tidur sangat lelap selama mengurusi anak-anak. Seharian agenda kami full, malam  hari aku tidur terakhir karena menemani hannah yang sulit tidur. Selisih waktu satu jam Indonesia dengan Australia berdampak cukup besar pada pola tidur Hannah. Dia selalu tidur dua jam setelah peserta lain tidur, di atas pukul sebelas malam  sedangkan pukul tiga lewat mereka dibangunkan untuk shalat malam dan santap sahur. Tidak jarang, menginjak hari ketiga pesantren kilat ini Hannah selalu menangis setiap kali dibangunkan. Kami panitia perempuan bergantian menggendong Hannah ke kamar mandi. Dengan wajah terkantuk-kantuk dan sesenggukan karena menangis, Hannah mengambil air wudhu.
“Maafkan kak maya ya, ini semua karena kakak  sayang Hannah” desis batinku setiap kali melihatnya menangis di tempat wudhu . Aku memakaikan jilbab padanya dan kembali menggendongnya menuju ruang shalat. Inilah saat yang berkesan bagiku, memakaikannya kain shalat dan menyuapinya makan sahur.
“Kak, Hannah gak mau ngapalin lagi nih habis subuh. Maunya tidur”, ucapku saat Kak Siska menanyakan keberadaan Hannah.
“Ih jangan gitu May, diusahain jangan tidur lagi abis subuh. Nanti mereka makin lama hapalannya”
“Tau sih… tapi percuma juga kalau dipaksa, dia nangis terus” Ucapku. Aku mengizinkan Hannah tidur setelah subuh pagi itu dan aku  fokus dengan hapalan peserta lainnya.
“Kak aku juga ngantuk, mau tidur kaya Hannah” ucap yussi, peserta kelas lima SD ini.
“Eehh gak boeh gitu, Hannah kan masih kecil. Nanti pas kalian istirahat, Hannah ngapalin kok. Gantian ya..” ucapku berusaha adil.
Aktivitas kami yang cukup padat tak jarang mendatangkan keluhan dari anak-anak. Kami menyiasati kejenuhan anak-anak ini dengan games dan nonton bareng. Setiap usai shalat dzuhur juga ada kelas menggambar. Kelas inilah yang paling digemari Hannah. Karakter kucing dan lukisan abstrak sering kali memenuhi ruang kertas hvs yang panitia sediakan untuknya. Tak lupa aku selalu mendokumentasikan setiap hasil goresannya.
Lukisan Hannah
            Setiap malam selepas adzan isya, tak sedikit orang tua yang datang menjenguk. Anak-anak paling senang saat dibawakan  pesanannya. Para orang tua membujuk bagaimana anak-anak yang mulai merengek minta pulang. Setiap mamih datang, Hannah kembali bicara dengan bahasa asing dan cuek denganku.
“Sebel deh, kenapa sih kak Hannah kalau ada mamihnya ngomong bahasa inggris lagi? Kan kita gak ngerti” keluh seorang peserta laki-laki.
“Yak kan itu emang bahasa sehari-harinya Hannah, cuma karena gak ada mamihnya aja Hannah mau dikit-dikit pakai bahasa Indonesia” Kataku memberikan pengertian pada peserta lain.
 ***
“Aku lapar…” ucap Hannah padaku di sela-sela aktivitas menghapal.
“Hannah kamu lapar? Tahan puasanya ya, sampai dzuhur aja” bujukku.
“Aku lapar, aku mau makan” Hannah merengek dan mengguncang-guncangnya tanganku.
Hannah memang belum pernah seharipun puasa sampai maghrib selama di Ramadhan Ceria. Setiap pukul 10 atau 11 pagi Hannah minta buka puasa. Namun bagiku ini perkembangan yang cukup pesat. Mamih bilang Hannah jarang sahur, bahkan tidak puasa. Namun karena di pesantren kilat ini semua orang puasa, dia ikut puasa walaupun belum sempurna. Aku mengajaknya keluar dari ruang kelas dan membawanya ke kamar. Dia berlari mengambil makanan yang dibawakan mamihnya tadi malam. Dia makan  sambil menghadap ke tembok kamar. Begitu Rere masuk ke kamar, Hannah langsung menyembunyikan makanannya.
“Rere tutup !!” ucapnya lalu berlari ke arah  Rere. Dia diam dibelakang pintu kamar.
“Ih kak, Hannah buka ya..” ucap Rere.
“Shuuuttt “ aku memberikan isyarat tutup mulut.
Rere sudah mengerti lalu kembali ke ruang kelas. Tidak lama pelajaran di dalam kelas selesai, anak-anak kembali ke kamar. Banyak kejutan yang mengharukan selama empat hari berlangsung ini. Suatu waktu di siang hari, peserta laki-laki iseng masuk ke kamar perempuan tanpa mengetuk pintu, ketika itu hannah sedang tidak memakai jilbab. Dia berteriak meminta semua  orang menutup pintu dan mengusir anak-anak lelaki. Namun berhubung mereka tidak berhenti berbuat iseng. Hannah menyobek sebuah kertas dan menuliskan kalimat “NO MEN !” lalu menempelkannya di depan pintu kamar perempuan. Aku sangat terharu atas tindakannya yang tidak sempat aku pikirkan karena sibuk mengurusi hal lainnya. Hannah perlahan mulai mengerti dengan kewajiban menutup aurat, dan mulai merasa malu saat dirinya tidak berjilbab di depan laki-laki. Walaupun di Australia Hannah  menempuh pendidikan di sekolah islam, mamih bilang Hannah hanya memakai jilbab saat belajar di kelas saja.
            Mamih bahkan berdecak kagum setiap kali aku melaporkan setiap perilaku dan perkembangan Hannah selama dalam mengawasanku. Aku juga meminta maaf jika seandainya Hannah tidak mampu menyelesaikan menghapal tujuh puluh delapan ayat surat ar-rahman hingga acara wisuda nanti dilaksanakan.
“Iya gak apa-apa kak, yang penting kan pengalaman dan ilmunya. Setidaknya Hannah nyaman, senang dan bisa punya banyak teman di sini. Supaya kalau pulang nanti  ada banyak yang bisa dia share  ke temen-temennya”. Aku sedikit lega dengan pengertian mamih seperti ini. Dua hari menjelang usainya acara pesantren kilat ini, aku merasakan begitu pilu dan lemas. Terutama jika mengingat Hannah akan pindah rumah ke Amerika karena ayahnya dipindah tugaskan di sana. Aku tidak ingin sedetikpun melewatkan momen berharga dengannya.
***
            Saat momen foto bareng untuk acara wisuda di hari keenam. Anak-anak memakai seragam ramadhan ceria berjajar berfoto di depan gedung tempat acara kami berlangsung. Usai acara sesi foto dilaksanakan. Aku meminta Hannah untuk berfoto .
“Hannah , aku mau fotoin kamu. Kasih aku pose terbaik ya” ucapku. Hannah memegang jemariku. Lalu menarik tanganku menjauh dari peserta lain.
“Hannah kita mau kemana?” ucapku
“Aku mau foto disana” ucapnya sampai terus menarik tanganku. Aku hanya menurut saja, sambil menerka-nerka apa yang mau dia lakukan. Akhirnya kita sampai di halaman belakang gedung. Dia duduk di atas tembok yang di belakangnya tubuh bunga sejenis cocok bebek yang besar.
“Aku mau foto di sini”
“Ohhh, pintar juga kamu pilih tempat nak” ucapku sambil tersenyum. Aku  bersiap memegang kamera di smartphone. Memilih posisi yang bagus.
“Hannah, look to the camera, give me your best smile please” ucapku saat menemukan posisi terbaik.
“No look… “ ucapnya. Aku heran. Lalu mengulang perkataanku tadi.
“NO LOOK !!” ucapnya lebih keras.
Pose"NO LOOK" versi Hannah Davis : )

Ohhh aku mulai mengerti, dia menginginkan pose seperti model, tanpa melihat kamera yang seolah-olah gambar diambil tanpa sepengetahuan objek yang difoto. Lagi aku dibuatnya tersenyum.
            Dan malam-malam terakhirpun aku menjadi semakin keras mengajak Hannah menghafal. Aku berharap setidaknya lebih dari sepuluh ayat dapat dia hapalkan.  Semalam menjelang wisuda, kami mengadakan gladiresik di aula yang akan digunakan untuk wisuda. Semua orang tua telah diberitahukan untuk datang menghadari acara puncak sekaligus menjemput anak-anak. Panitia lembur  mempersiapkan acara, mulai dari sertifikat, medali, sampai hal-hal kecil pendukung acara.
***
Hari yang ditunggu-tunggupun datang, semua peserta memakai pakaian putih. Selain mengurus hapalan anak-anak, aku juga bertugas penanggung jawab acara wisuda. Kami memulai acara pukul sembilan pagi. Usai para orang tua lengkap di ruangan, acarapun dilaksanakan dengan khidmat. Saat yang dinantikan para orang tua adalah penampilan hafalan anak-anak. Kami membagi kedua belas anak-anak menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama membaca surat ar-rahman dari ayat satu sampai ayat lima belas. Kelompok dua dari ayat enam belas sampai dua puluh. Dan kelompok ketiga  melanjutkan sampai ayat terakhir. Saat ini yang paling menegangkan bagi panitia.
            Hannah masuk dalam kelompok pertama, hingga hari wisuda hannah telah menghafal  sebanyak lima belas ayat. Aku sedikit lega saat ini kelompok binaanku selesai melewati tantangannya. Aku yang berdiri was-was di belakang kursi hadirin tak sanggup menahan air mata. Bulir bening satu per satu berjatuhan di pipi.
“Terima Allah… terima kasih anak-anak” syukurku lantunkan. Langsung aku peluk satu per satu dari mereka saat turun dari panggung. Acara wisuda berlangsung dengan khidmat. Anak-anak dan para orang tua sangat antusias saat kami mengalungkan medali kepada setiap peserta pertanda mereka telah lulus melewati proses tantangan selama tujuh hari ini.
Kami bersalaman dengan orang tua dan anak-anak di penghujung acara. Sekaligus berpamitan. Hari yang sangat mengharukan. Aku mencoba ikhlas dengan kepergian Hannah dan menyembunyikan semua kesedihan dibalik wajah tegar. Namun terlambat, Hannah lebih dahulu melihat air mataku yang jatuh .
            Saat peserta lain mulai berpamitan. Mamih menghampiriku di dekat panggung.
“Kak maya, mamih pamit ya. Makasih banyak ya kak sudah direpotkan dengan Hannah. Semoga kita bisa bertemu lagi ya”. Ucapnya sambil memeluk dan menyodorkan tangan padaku.
Aku tersedak menahan haru.
“Sama-sama mih, makasih juga sudah mau ikut acara kami. Jangan kapok ya mih” ucapku membalas  Mamih lalu memanggil Hannah yang masih asyik memainkan gadget miliknya.
“Hannah sini sayang, pamit sama kakak”. Hannah menghampiri. Aku segera merangkul, memeluk dan menciumnya. Aku membisikan sesuatu kepadanya.
“Kak maya sayang banget sama Hannah.. Jangan lupain kakak ya” ucapku pelan. Air mataku tak dapat terbendung lagi.
“Hannah, mamih mau foto kamu sama kak maya, ayo berdiri di sana”ucap mamih.
Aku menyodorkan tangan ke padanya. Seperti biasa hannah melompat ke gendonganku. Temanku yang lain ingin ikut berpose juga bersama Hannah. Saat kamera telah dipasang. Hannah berbicara.
“Aku mau kiss” Hannah mencium pipiku sambil berpose.
“Ohhh… so sweet sekali” desis mamih. Aku terharu dengan tingkah Hannah. Dibalik cueknya, dia mulai mengerti dengan perpisahan yang akan kami lalui. Usai berpose , Hannah dan mamih pamit. Aku mengantarkan hingga depan gedung. Ada banyak rasa yang tidak bisa diungkapkan. Aku menahannya agar tidak tumpah saat itu.
“Terima kasih ya Shalihah  telah menjadi anakku yang baik selama tujuh hari, semoga lima belas ayat yang kau hafal akan mempertemukan kita kembali Hannah”. Doaku mengantar mobil silver itu melaju meninggalkan kenangan terindah di semester empat masa-masa kuliahku.

"Mamih aku mau Kiss"  ucap Hannah
Penyematan Medali dan pemberian sertifikat wisuda

"Terima kasih telah hadir dalam hidupku Hannah Davis, terima kasih untuk canda, tawa, ceria, tangis, keramahan, nakal, kasih sayang yang kita lalui bersama. Tetaplah menjadi Hannah yang ku kenal dimanapun dan dengan siapapun kau bergaul dibelahan dunia manapun. Terima kasih untuk semua Ibu di dunia ini, generasi yang hebat berasal dari Ibu yang hebat. Ibulah sekolah pertama untuk anak-anak. Teruslah berkarya untuk umat : )"

Salam sayang Kak Maya Romantin / @el_kharismaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar