“Aku gak magang liburan kuliah ini, tapi mengurus satu
acara sama organisasiku di luar kampus ” tuturku setiapkali di todong
pertanyaan yang sama oleh teman-teman kampus yang sudah mendapat tempat magang.
Sebetulnya ini bukan kali pertama
aku nganggur di liburan panjang semester genap. Tahun lalu aku juga absen dari
magang, dan berdiam di rumah selama dua bulan. Akhir semester empat ini terjadi lagi.
Bukan karena tidak dapat tempat magang, tapi karena aku ingin mengejar target menulis novel
dan mengurus organisasi yang baru dibentuk dua bulan terakhir. Aku tidak hanya memilih untuk aktif di organisasi
kampus, namun mulai mencari kesibukan baru di organisasi yang lebih luas
lingkupnya sejak semester tiga. Brilliantz management, organisasi yang bergerak
di bidang training dan pelatihan ini beranggotakan sepuluh orang dari enam
universitas di Jakarta dan Depok.
Butuh waktu sekitar sebulan untuk
menyiapkan acara besar pertama kami yang melibatkan peserta SD-SMP ini. Acara
untuk mengisi liburan di bulan Ramadhan , atau lebih familiar dengan pesantren
kilat kami beri nama “Ramadhan Ceria”. Kami
menggunakan sebuah yayasan pemuda muslim di Jakarta Selatan sebagai lokasi
acara “Ramadhan Ceria” dilaksanakan.
“Besok pagi panitia sudah di lokasi . Kita
harus menyiapkan perlengkapan ,
mengkondisikan tempat , memasang banner
dan lain sebagainya karena peserta akan datang pukul tiga sore diantar
orangtuanya” Sebuah pesan singkat masuk
di ponselku, dari Ian selaku ketua
pelaksana acara. Aku mulai berkemas menyiapkan pakaian dan perlengkapan untuk
tujuh hari menginap di sana. Kak siska sebagai penanggung jawab acara
melaporkan bahwa ada dua belas peserta yang mendaftar.
Pukul dua siang , saat aku sedang menyiapkan perlengkapan yang
dibutuhkan di meja registrasi, sebuah mobil sedan hitam memasuki lokasi.
Sepasang suami istri menghampiriku dan mendaftarkan kedua anaknya, Alisha dan Raisha yang masing-masing
berusia 10 dan 9 tahun. Aku tersenyum menyambutnya, lalu membantunya memasukkan
perbekalan kedua anak ini. Setiap peserta membawa alat tidur sendiri dan
perlengkapan selama seminggu. Selama acara ini berlangsung, orang tua hanya
boleh menjenguk dan tidak dianjurkan menginap karena dikhawatirkan akan
menggangu aktivitas peserta. Selama seminggu peserta akan diberikan pelatihan character
building, materi kepemimpinan dan goal dari acara ini adalah peserta mampu
menghafal surat ar-rahman.
Menjelang jam tiga sore, kak siska mendatangiku di depan ruangan
ramadhan ceria.
“May, nanti ada
peserta yang bule juga loh. Kamu siap-siap ya..”
“Hah bule?
Serius? Bule dari mana?”
“Dari
Australia, tapi mamihnya orang Jakarta kok. Tenang aja. Nanti kamu yang
ngurusin dia ya may”, tuturnya sambil tersenyum.
“Hah gak mau,
bahasa inggrisku berantakan. Aku bingung nanti ngomong apa kak. Ih kok gak
bilang dari awal kalau bakalan ada bule
juga, kan bisa belajar bahasa inggris dulu nih..”, ujarku dengan nada sedikit
sesal.
“Iya lupa, udah
gak apa-apa ya may. Sekalian nanti aja belajarnya. Aku juga gak pede ngomong
inggris. Tapi kan kamu lebih pemberani tuh may… hehe ”
Aku gerogi bukan main,
walaupun sebenarnya hati sangat senang dengan kabar ini. Yang aku khawatirkan
adalah bagaimana nanti berkomunikasi dengannya sementara aku merasa sangat
kurang dalam praktik bahasa Inggris. Aku down memikirkan hal ini.
Tidak lama, sosok ibu berjilbab pink datang dengan dua orang anak
perempuan dan seorang anak laki-laki menghampiriku di meja registrasi.
“Ini tempat
pesantren kilat bukan mbak?” ucapnya ramah. Aku mengangguk dan menyalaminya.
“Saya mau
daftarin tiga orang sebenarnya mbak. Tapi pas tadi di mobil, abangnya gak mau nih. Susah komunikasi soalnya
gak bisa bahasa Indonesia. Jadi adiknya saja, Hannah sama keponakan saya Rere” ucapnya sambil mengisi formulir
pendaftaran. Mataku langsung tertuju sosok mungil bergamis ungu itu. Cantik sekali… puji batinku. Segera aku
tawarkan beberapa pulpen, buku tulis dan kaos seragam untuk mereka pilih.
Hannah menarik-narik tangan Rere, mengajaknya bermain. Mamih menjelaskan
kepadaku bahwa Hannah belum lancar
membaca Al-qur’an namun sudah mengenal huruf-huruf hijaiyah. Ia baru kelas 1
sekolah dasar di Australia.
Hannah Davis, Putri Bungsu Mr.Bob Davis dan Ibu Rina dari Perth, Australia |
Karena sudah adzan ashar , aku mengajak Rere dan Hannah untuk sholat di lantai dua aula gedung ini sambil menunggu
peserta lain datang. Aku mencoba mengajak berbicara perlahan. Hannah tidak berkata banyak, hanya menjawab dengan ucapan “iya”,
“menganguk” dan “menggeleng”. Hannah lebih sering bicara dengan Rere. Aku
menjadi bingung memikirkan cara
mendekatinya. Sebelum maghrib, semua peserta telah tiba di lokasi dan acara
pembukaan dimulai secara resmi dengan simbolik penyematan seragam Ramadhan
Ceria yang diwakili oleh Hannah.
Gadis Australia ini masih sangat malu-malu saat peserta lain
berebutan ingin berkenalan dengannya. Aku mengajaknya berkomunikasi dengan
bahasa Indonesia dan campuran Inggris seperti yang dilakukan Rere. Aktivitas
pada malam pertama kami membimbing
peserta membaca surat ar-rahman secara
bersama-sama. Pukul sepuluh malam sebelum tidur, Hannah menangis di ruang
tidur. Rere berkata kepadaku bahwa Hannah kangen mamih. Hannah menunjukan padaku buku catatan yang berisi
nomor telepon mamih.
“Kak, gimana
ini? Hannah nangis . minta telpon mamihnya. Apa kita minta mamihnya buat
kesini?” tanyaku pada kak siska.
“Jangan may.
Udah malam, kasian kalau mamih harus kesini. Aku coba ngomong ke Hannah”, Kak
siska menghampiri Hannah yang sedang menangis di atas kasur berwarna pink.
“Hanaah kamu
kenapa? Mau telpon mamih?”
“Mamih… mamih…
mamih….” Ucap mulut kecilnya sambil terisak-isak dan menyodorkan nomor telepon.
“Hannah mau
ngapain telpon mamih?”
“Dia mau minta kiss
ka. Biasanya Hannah suka minta kiss dan dipeluk mamih sebelum tidur”, Rere mencoba
menjelaskan apa yang diinginkan Hannah.
Aku tersenyum mendengarnya. Romantis sekali. Namun aku segera
mengambil alih, membujuknya untuk tidak
menelpon mamih malam ini. Setelah agak tenang, Hannah kembali tidur ditemani
Nia. Aku bergegas ke ruang depan membereskan meja makan. Namun tak lama setelah
meninggalkan ruangan tidur, Nia
memanggilku.
“May.. Hannah
nangis lagi nih. Kamu gih yang nemenin. Aku bingung sekarang dia perutnya
sakit”, ucap Nia lalu menggantikan pekerjaanku.
Saat aku hampiri, Hannah sedang
merengek memegangi perutnya. Aku mengambil minyak kayu putih, lalu mengoleskan
dan mengurut perutnya perlahan. Untungnya aku udah biasa ngurus anak-anak kecil, sedikitnya bisa membantu panitia dan anak-anak. Menemaninya dengan bercerita tentang sesuatu
hal. Sesekali aku membisikkan kalimat-kalimat penenang.
“Hannah anak
shalihah… anak cantik.. tidur ya.. besok mamih kesini..” tuturku sambil terus
mengusap-usap tangan dan perutnya. Hannah masih merengek. Hingga seorang
peserta terbangun.
“Kak, Hannah kenapa sih. Kok nangis terus?”
tanya yusi dengan mata terkantuk-kantuk.
“Nggak apa-apa…
Hannah cuma kangen mamihnya. Kamu bobo ya… takut besok bangun kesiangan”, Yusi
kembali menggulung selimutnya. Tujuh orang peserta perempuan tidur sejajar
dalam ruangan ini. Mereka dibekali dengan barang-barang pribadi yang biasa
menemani tidurnya. Pukul setengah dua belas, Hannah mulai terlelap.
***
Pukul setengah empat pagi anak-anak dibangunkan untuk shalat malam dan makan sahur. Dengan mata
terkantuk-kantuk, Hannah makan di atas
kursi panjang bersama Rere. Dia menolak saat aku menawarkan diri untuk
menyuapinya.
Hari kedua, panitia dihebohkan dengan Hannah lagi. Umay berlari
menemuiku di ruang depan.
“Kak Maya…itu
Hannah.. dia mau pup tapi gak bisa di kloset jongkok” Ucap Umay dengan terburu-buru menghampiriku di
ruang depan. Aku segera ke kamar mandi. Benar saja, Hannah memang terbiasa dengan kloset duduk di
rumahnya. Namun akhirnya aku dapat
segera mengatasi masalah ini.
Di hari kedua, peserta dibagi menjadi beberapa kelompok hafalan. Aku
mendapat tugas membina empat anak usia 6-7 tahun. Mulanya Hannah tidak mau bicara
padaku, namun setelah melewati proses pendekatan akhirnya dia mau sedikit terbuka dan
berbicara dengan bahasa Indonesia yang terbatas, pun aku terkadang bahasa
isyarat aku lakukan saat kedua bahasa yang digunakan tidak bisa membuatnya
paham. Mengurusi empat anak kecil ini tidak mudah
bagiku. Setiap anak punya kapasitas yang berbeda. Untuk Hannah, berhubung lidah
australianya sangat pekat aku mengalami kesulitan untuk mengajaknya mengucapkan
bahasa Al-qur’an dengan jelas. Cara
membuatnya menghafal adalah mendengarkan apa yang aku ucapkan. Setiap jamnya,
Hannah sudah mulai biasa berinteraksi dengan peserta lain . Hampir semua
aktivitasnya aku dokumentasikan untuk membuat laporan kepada orang tua.
***
“Hannah.. yuk ngapalin lagi..” ucapku di hari
ketiga. Dia sedang asyik mengotak-atik ponselku. Sesekali lagu barat dia putar
dan bernyanyi dengan cueknya. Aku segera mengambil ponsel dari tangannya saat
peserta lain yang sedang menghafal mulai terganggu. Hannah sedikit marah saat
aku melakukannya.
“Hannah ayo
sayang… yuk kita jalan-jalan di depan. Lihat kelinci” ucapku mengalihkan
perhatiannya sementara. Hannah sangat suka dengan kelinci dan kucing, tak
jarang cara ini aku manfaatnya untuk menarik perhatiannya. Setelah dia cukup
puas bermain kelinci pemilik rumah di depan gedung ini aku menggendongnya ke
teras depan gedung. Lalu mendudukannya di pangkuanku. Pelan aku bisikkan ke
telinganya.
Hannah mulai aktif bergabung dengan peserta lain |
“Hannah….
Arrahman…” ucapku
“Arrahman…”
ucap mulut kecilnya
“Allamal
qur’an.. “
Pelan sekali
mulutnya terbuka. Ah lucu sekali anak ini, aku memujinya dalam hati . Tiba-tiba
seorang anak lelaki yang paling aktif datang menghampiriku.
“Kak, Hannah
udah hapal berapa ayat?” tanyanya sambil mendekat. Tangannya jahil mencubit pipi Hannah hingga rona merah membentuk
lingkaran di sana. Hannah berteriak,
menepis tangan Raisha.
“Diam !” teriak
Hannah.
“Abang raisha
jangan gitu nak, hannahnya marah kan?” ucapku sambil menenangkan Hannah. Hannah
yang sedang tidak mau menghafal berlari dari pangkuanku saat dua orang peserta
lain datang mengajaknya bermain sepeda. Aku mencoba tidak protes.
“Namanya juga
anak-anak, gak bisa dipaksa” tenang batinku. Kak Siska datang menghampiri.
“May , gimana anak-anak bimbingan kamu?”
“Rere sama echi
sih udah lebih dari 10 ayat . Tapi masih lupa-lipa sih. Harus diingetin terus”,
kataku sambil menuliskan sesuatu di kertas.
“Hannah?”
lanjut Kak Siska
“Nah itu dia Kak,
susah. Hannah maunya main terus. Udah gitu kan lidahnya gak kaya kita tuh,
lafalnya jadi ga jelas dan tegas”.
“Diusahain
terus ya may, anak-anak minimal sehari itu bisa lima belas ayat. Soalnya kita
efektif menghafal cuma lima hari. Sehari buat mengulang terus hari terahir
wisuda mereka udah gak ngapalin lagi”. Aku
terdiam merasa tidak mampu.
“Gimana dong Kak,
aku gak enak sama orang tuanya kalau sampai gagal. Tapi namanya anak-anak kan gak
bisa dipaksa ya”. Kak siska meyakinkanku agar tidak mudah putus asa.
Hari menjelang sore, aku segera memanggil anak-anak untuk mandi dan
bersiap-siap berbuka puasa. Keduabelas peserta lalu masuk ke kamarnya. Seperti
biasa Hannah belum bisa aku lepas pergi ke kamar mandi sendirian. Mulai dari
memilih baju, mandi dan hal-hal kecil lainnya aku yang mengurusi. Tak heran
jika selama tiga hari pertama Hannah semakin dekat dan terbuka kepadaku
dibanding panitia lainnya.
Sementara anak-anak istirahat
menunggu adzan maghrib, panitia menyiapkan hidangan buka yang diantar tim
catering kepercayaan kami.
“Ayo semuanya
buka” seru panitia saat mendengar suara bedug
. Anak-anak berhamburan mengelilingi meja makan. Usai menyantap hidangan
pembuka, yaitu minuman dan kue anak-anak melaksanakan shalat maghrib terlebih
dahulu dipimpin oleh imam dari panitia. Kami membiasakan anak-anak supaya tidak
langsung makan makanan berat begitu buka. Usia shalat anak-anak menyodori
piring kepada panitia. Mataku menangkap si kecil Hannah duduk di kursi beserta
peserta lain sambil memakan semangka.
“Hannah mau
makan sekarang?” tanyaku. Dia mengangguk dan menghampiriku di samping meja
makan.
“mau yang mana
lauknya?”
“aku gak suka
ini, ini sama ini” ucapnya sambil menunjuk beberapa lauk yang berasal dari
sayuran.
“Kok ga mau
makan sayur? Hannah maunya sama ayam doang?” dia mengangguk. Sejak hari pertama
dia memang tidak memakan makanan lain selain daging. Aku tidak pernah makan sebelum memastikan
Hannah makan duluan, karena semenjak hari kedua Hannah tidak mau makan dengan
piring sendiri.
“May kok berdua
terus makannya sama Hannah? Biarin Hannah makan sendiri. Nanti dia manja loh
sama kamu.” ucap salah seorang temanku.
“Hannah gak mau
makan kalau bukan aku yang nyuapin. Aku gak keberatan kok, biar lebih deket
juga. Kalau udah deket kan, aku jadi gampang transfer ilmunya.. heheh” ucapku.
Selesai buka puasa, anak-anak
berjamaah shalat isya dan tarawih. Imam shalat tarawih dipimpin secara
bergantian oleh panitia dan peserta yang hapalan alqur’annya sudah banyak. Di
tengah-tengah shalat tarawih, Hannah menyeletuk mengikuti bacaan surat
al-fatihah yang dibaca imam. Saat imam membaca surat kedua, Hannah menyeletuk
membaca surat lain yang berbeda dari imam. Dengan logat australianya yang
kental dan badannya yang bergerak-gerak, dapat dipastikan hampir semua jamaah
dalam satu barisan peserta berusaha menahan tawa karena ulahnya.
“Haduh Hannah…
kamu hampir buat semua orang shalatnya batal nak..hehhe” ucapku sampil
memeluknya gemas.
“Iya nih Hannah
lucubanget sih” ucap panitia lain.
“Iya lucu, dia
pintar ya. Aku gak nyangka ternyata dia udah menghafal beberapa surat pendek”,
lanjutku.
Anak-anak mulai mengulang ayat-ayat
yang sudah dihapal usai shalat tarawih. Aku kembali mencari Hannah untuk
mengajaknya kembali belajar.
“Sayang
ngapalin lagi yuk” ucapku hampir menyodorkan tangan. Hannah menyambut tanganku
dengan riang dan melompat ke gendonganku.
“Ngapalin lagi ya..”
“Nggak… “
dengan ekspresi wajahnya yang nakal . Aku mencubit pipinya pelan.
“eeh… do you love
me Hannah?” begitu jurusku ketika dia mulai nakal. Hannah mengangguk dan aku
mulai mengajaknya mengapal di teras depan bersama Rere.
"Do you love me?".. aku mulai membiasakan hannah mengucapkan kalimat ini. bagaimanapun, jurus terbaik mendidik anak bukan dengan suruhan atau memarahinya, tapi mengajarkannya terlebih dahulu mengenal cinta. Membiarkan anak-anak mencintai siapa yang mengasuhnya, agar pengasuh mudah mengajarkan arti cinta yang sebenarnya harus tumbuh di hati mereka, yaitu cinta pada Allah.
"Do you love me?".. aku mulai membiasakan hannah mengucapkan kalimat ini. bagaimanapun, jurus terbaik mendidik anak bukan dengan suruhan atau memarahinya, tapi mengajarkannya terlebih dahulu mengenal cinta. Membiarkan anak-anak mencintai siapa yang mengasuhnya, agar pengasuh mudah mengajarkan arti cinta yang sebenarnya harus tumbuh di hati mereka, yaitu cinta pada Allah.
Sebelum tidur aku selalu membisikan
ayat-ayat ar-rahman di telinganya, supaya
dia mudah hapal dan tidak asing dengan kalimat-kalimat arab tersebut.
Hannah memandangi wajahku yang terus melapalkan ayat-ayat di dekat wajahku..
momen seperti ini yang selalu aku manfaatkan , Hannah baru bisa menghafal di
saat semua peserta sudah terlelap. Aku
memposisikan diriku bukan sebagai seorang guru, tapi sebagai pengganti mamihnya
sementara waktu. Hannah mulai mengikuti apa yang aku lantunan hingga akhirnya
dia merasa lelah dan terlelap.
Aku tidak pernah bisa tidur sangat
lelap selama mengurusi anak-anak. Seharian agenda kami full, malam hari aku tidur terakhir karena menemani hannah
yang sulit tidur. Selisih waktu satu jam Indonesia dengan Australia berdampak
cukup besar pada pola tidur Hannah. Dia selalu tidur dua jam setelah peserta
lain tidur, di atas pukul sebelas malam sedangkan
pukul tiga lewat mereka dibangunkan untuk shalat malam dan santap sahur. Tidak
jarang, menginjak hari ketiga pesantren kilat ini Hannah selalu menangis setiap
kali dibangunkan. Kami panitia perempuan bergantian menggendong Hannah ke kamar
mandi. Dengan wajah terkantuk-kantuk dan sesenggukan karena menangis, Hannah
mengambil air wudhu.
“Maafkan kak
maya ya, ini semua karena kakak sayang
Hannah” desis batinku setiap kali melihatnya menangis di tempat wudhu . Aku
memakaikan jilbab padanya dan kembali menggendongnya menuju ruang shalat.
Inilah saat yang berkesan bagiku, memakaikannya kain shalat dan menyuapinya
makan sahur.
“Kak, Hannah
gak mau ngapalin lagi nih habis subuh. Maunya tidur”, ucapku saat Kak Siska
menanyakan keberadaan Hannah.
“Ih jangan gitu
May, diusahain jangan tidur lagi abis subuh. Nanti mereka makin lama hapalannya”
“Tau sih… tapi
percuma juga kalau dipaksa, dia nangis terus” Ucapku. Aku mengizinkan Hannah
tidur setelah subuh pagi itu dan aku fokus
dengan hapalan peserta lainnya.
“Kak aku juga
ngantuk, mau tidur kaya Hannah” ucap yussi, peserta kelas lima SD ini.
“Eehh gak boeh
gitu, Hannah kan masih kecil. Nanti pas kalian istirahat, Hannah ngapalin kok. Gantian
ya..” ucapku berusaha adil.
Aktivitas kami yang cukup padat tak jarang mendatangkan keluhan
dari anak-anak. Kami menyiasati kejenuhan anak-anak ini dengan games dan nonton
bareng. Setiap usai shalat dzuhur juga ada kelas menggambar. Kelas inilah yang
paling digemari Hannah. Karakter kucing dan lukisan abstrak sering kali memenuhi
ruang kertas hvs yang panitia sediakan untuknya. Tak lupa aku selalu
mendokumentasikan setiap hasil goresannya.
Lukisan Hannah |
Setiap malam selepas adzan isya, tak
sedikit orang tua yang datang menjenguk. Anak-anak paling senang saat dibawakan
pesanannya. Para orang tua membujuk
bagaimana anak-anak yang mulai merengek minta pulang. Setiap mamih datang, Hannah
kembali bicara dengan bahasa asing dan cuek denganku.
“Sebel deh,
kenapa sih kak Hannah kalau ada mamihnya ngomong bahasa inggris lagi? Kan kita
gak ngerti” keluh seorang peserta laki-laki.
“Yak
kan itu emang bahasa sehari-harinya Hannah, cuma karena gak ada mamihnya aja
Hannah mau dikit-dikit pakai bahasa Indonesia” Kataku memberikan pengertian
pada peserta lain.
***
“Aku lapar…”
ucap Hannah padaku di sela-sela aktivitas menghapal.
“Hannah kamu
lapar? Tahan puasanya ya, sampai dzuhur aja” bujukku.
“Aku lapar, aku
mau makan” Hannah merengek dan mengguncang-guncangnya tanganku.
Hannah memang belum pernah seharipun puasa sampai maghrib selama di
Ramadhan Ceria. Setiap pukul 10 atau 11 pagi Hannah minta buka puasa. Namun
bagiku ini perkembangan yang cukup pesat. Mamih bilang Hannah jarang sahur,
bahkan tidak puasa. Namun karena di pesantren kilat ini semua orang puasa, dia
ikut puasa walaupun belum sempurna. Aku mengajaknya keluar dari ruang kelas dan
membawanya ke kamar. Dia berlari mengambil makanan yang dibawakan mamihnya tadi
malam. Dia makan sambil menghadap ke
tembok kamar. Begitu Rere masuk ke kamar, Hannah langsung menyembunyikan
makanannya.
“Rere tutup !!”
ucapnya lalu berlari ke arah Rere. Dia
diam dibelakang pintu kamar.
“Ih kak, Hannah
buka ya..” ucap Rere.
“Shuuuttt “ aku
memberikan isyarat tutup mulut.
Rere sudah mengerti lalu kembali ke ruang kelas. Tidak lama
pelajaran di dalam kelas selesai, anak-anak kembali ke kamar. Banyak kejutan
yang mengharukan selama empat hari berlangsung ini. Suatu waktu di siang hari,
peserta laki-laki iseng masuk ke kamar perempuan tanpa mengetuk pintu, ketika
itu hannah sedang tidak memakai jilbab. Dia berteriak meminta semua orang menutup pintu dan mengusir anak-anak
lelaki. Namun berhubung mereka tidak berhenti berbuat iseng. Hannah menyobek
sebuah kertas dan menuliskan kalimat “NO MEN !” lalu menempelkannya di depan pintu
kamar perempuan. Aku sangat terharu atas tindakannya yang tidak sempat aku
pikirkan karena sibuk mengurusi hal lainnya. Hannah perlahan mulai mengerti
dengan kewajiban menutup aurat, dan mulai merasa malu saat dirinya tidak
berjilbab di depan laki-laki. Walaupun di Australia Hannah menempuh pendidikan di sekolah islam, mamih
bilang Hannah hanya memakai jilbab saat belajar di kelas saja.
Mamih bahkan berdecak kagum setiap
kali aku melaporkan setiap perilaku dan perkembangan Hannah selama dalam
mengawasanku. Aku juga meminta maaf jika seandainya Hannah tidak mampu
menyelesaikan menghapal tujuh puluh delapan ayat surat ar-rahman hingga acara
wisuda nanti dilaksanakan.
“Iya gak apa-apa
kak, yang penting kan pengalaman dan ilmunya. Setidaknya Hannah nyaman, senang
dan bisa punya banyak teman di sini. Supaya kalau pulang nanti ada banyak yang bisa dia share ke temen-temennya”. Aku sedikit lega dengan
pengertian mamih seperti ini. Dua hari menjelang usainya acara pesantren kilat
ini, aku merasakan begitu pilu dan lemas. Terutama jika mengingat Hannah akan
pindah rumah ke Amerika karena ayahnya dipindah tugaskan di sana. Aku tidak ingin
sedetikpun melewatkan momen berharga dengannya.
***
Saat momen foto bareng untuk acara
wisuda di hari keenam. Anak-anak memakai seragam ramadhan ceria berjajar berfoto
di depan gedung tempat acara kami berlangsung. Usai acara sesi foto
dilaksanakan. Aku meminta Hannah untuk berfoto .
“Hannah , aku
mau fotoin kamu. Kasih aku pose terbaik ya” ucapku. Hannah memegang jemariku.
Lalu menarik tanganku menjauh dari peserta lain.
“Hannah kita
mau kemana?” ucapku
“Aku mau foto
disana” ucapnya sampai terus menarik tanganku. Aku hanya menurut saja, sambil menerka-nerka
apa yang mau dia lakukan. Akhirnya kita sampai di halaman belakang gedung. Dia
duduk di atas tembok yang di belakangnya tubuh bunga sejenis cocok bebek yang
besar.
“Aku mau foto
di sini”
“Ohhh, pintar
juga kamu pilih tempat nak” ucapku sambil tersenyum. Aku bersiap memegang kamera di smartphone. Memilih
posisi yang bagus.
“Hannah, look
to the camera, give me your best smile please” ucapku saat menemukan posisi
terbaik.
“No look… “
ucapnya. Aku heran. Lalu mengulang perkataanku tadi.
“NO LOOK !!”
ucapnya lebih keras.
Pose"NO LOOK" versi Hannah Davis : ) |
Ohhh aku mulai mengerti, dia menginginkan pose seperti model, tanpa
melihat kamera yang seolah-olah gambar diambil tanpa sepengetahuan objek yang
difoto. Lagi aku dibuatnya tersenyum.
Dan malam-malam terakhirpun aku
menjadi semakin keras mengajak Hannah menghafal. Aku berharap setidaknya lebih
dari sepuluh ayat dapat dia hapalkan. Semalam
menjelang wisuda, kami mengadakan gladiresik di aula yang akan digunakan untuk
wisuda. Semua orang tua telah diberitahukan untuk datang menghadari acara
puncak sekaligus menjemput anak-anak. Panitia lembur mempersiapkan acara, mulai dari sertifikat,
medali, sampai hal-hal kecil pendukung acara.
***
Hari yang ditunggu-tunggupun datang, semua peserta memakai pakaian putih. Selain mengurus hapalan anak-anak, aku juga bertugas penanggung jawab acara wisuda. Kami memulai acara pukul sembilan pagi. Usai para orang tua lengkap di ruangan, acarapun dilaksanakan dengan khidmat. Saat yang dinantikan para orang tua adalah penampilan hafalan anak-anak. Kami membagi kedua belas anak-anak menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama membaca surat ar-rahman dari ayat satu sampai ayat lima belas. Kelompok dua dari ayat enam belas sampai dua puluh. Dan kelompok ketiga melanjutkan sampai ayat terakhir. Saat ini yang paling menegangkan bagi panitia.
Hari yang ditunggu-tunggupun datang, semua peserta memakai pakaian putih. Selain mengurus hapalan anak-anak, aku juga bertugas penanggung jawab acara wisuda. Kami memulai acara pukul sembilan pagi. Usai para orang tua lengkap di ruangan, acarapun dilaksanakan dengan khidmat. Saat yang dinantikan para orang tua adalah penampilan hafalan anak-anak. Kami membagi kedua belas anak-anak menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama membaca surat ar-rahman dari ayat satu sampai ayat lima belas. Kelompok dua dari ayat enam belas sampai dua puluh. Dan kelompok ketiga melanjutkan sampai ayat terakhir. Saat ini yang paling menegangkan bagi panitia.
Hannah masuk dalam kelompok pertama,
hingga hari wisuda hannah telah menghafal sebanyak lima belas ayat. Aku sedikit lega
saat ini kelompok binaanku selesai melewati tantangannya. Aku yang berdiri
was-was di belakang kursi hadirin tak sanggup menahan air mata. Bulir bening satu per satu berjatuhan di pipi.
“Terima Allah…
terima kasih anak-anak” syukurku lantunkan. Langsung aku peluk satu per satu
dari mereka saat turun dari panggung. Acara wisuda berlangsung dengan khidmat.
Anak-anak dan para orang tua sangat antusias saat kami mengalungkan medali
kepada setiap peserta pertanda mereka telah lulus melewati proses tantangan
selama tujuh hari ini.
Kami bersalaman dengan orang tua dan anak-anak di penghujung acara.
Sekaligus berpamitan. Hari yang sangat mengharukan. Aku mencoba ikhlas dengan
kepergian Hannah dan menyembunyikan semua kesedihan dibalik wajah tegar. Namun
terlambat, Hannah lebih dahulu melihat air mataku yang jatuh .
Saat peserta lain mulai berpamitan.
Mamih menghampiriku di dekat panggung.
“Kak maya,
mamih pamit ya. Makasih banyak ya kak sudah direpotkan dengan Hannah. Semoga
kita bisa bertemu lagi ya”. Ucapnya sambil memeluk dan menyodorkan tangan padaku.
Aku tersedak
menahan haru.
“Sama-sama mih,
makasih juga sudah mau ikut acara kami. Jangan kapok ya mih” ucapku membalas Mamih lalu memanggil Hannah yang masih asyik memainkan
gadget miliknya.
“Hannah sini
sayang, pamit sama kakak”. Hannah menghampiri. Aku segera merangkul, memeluk
dan menciumnya. Aku membisikan sesuatu kepadanya.
“Kak maya
sayang banget sama Hannah.. Jangan lupain kakak ya” ucapku pelan. Air mataku
tak dapat terbendung lagi.
“Hannah, mamih
mau foto kamu sama kak maya, ayo berdiri di sana”ucap mamih.
Aku menyodorkan tangan ke padanya. Seperti biasa hannah melompat ke
gendonganku. Temanku yang lain ingin ikut berpose juga bersama Hannah. Saat
kamera telah dipasang. Hannah berbicara.
“Aku mau kiss”
Hannah mencium pipiku sambil berpose.
“Ohhh… so sweet
sekali” desis mamih. Aku terharu dengan tingkah Hannah. Dibalik cueknya, dia
mulai mengerti dengan perpisahan yang akan kami lalui. Usai berpose , Hannah
dan mamih pamit. Aku mengantarkan hingga depan gedung. Ada banyak rasa yang
tidak bisa diungkapkan. Aku menahannya agar tidak tumpah saat itu.
“Terima kasih
ya Shalihah telah menjadi anakku yang
baik selama tujuh hari, semoga lima belas ayat yang kau hafal akan mempertemukan
kita kembali Hannah”. Doaku mengantar mobil silver itu melaju meninggalkan
kenangan terindah di semester empat masa-masa kuliahku.
"Mamih aku mau Kiss" ucap Hannah |
Penyematan Medali dan pemberian sertifikat wisuda |
"Terima kasih telah hadir dalam hidupku Hannah Davis, terima kasih untuk canda, tawa, ceria, tangis, keramahan, nakal, kasih sayang yang kita lalui bersama. Tetaplah menjadi Hannah yang ku kenal dimanapun dan dengan siapapun kau bergaul dibelahan dunia manapun. Terima kasih untuk semua Ibu di dunia ini, generasi yang hebat berasal dari Ibu yang hebat. Ibulah sekolah pertama untuk anak-anak. Teruslah berkarya untuk umat : )"
Salam sayang Kak Maya Romantin / @el_kharismaya
Salam sayang Kak Maya Romantin / @el_kharismaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar