Pegas IPB 2012
Jantungku berdegup tak beraturan, saat sosok bayang Afifah tidak tampak di atas kasur
beralaskan seprai merah bergambar angry bird miliknya.Usai makan malam bersama
santri lain, Afifah pamit ke kobong (sebutan kamar di asrama).
“amih” (sebutan untuk pengasuh di
asrama tahfidz cilik ini), ”aku mau bo..bo ya” mulut kecilnya berkata sambil
menguap karna kantuk.Akupun mengizinkan, walau seharusnya usai makan malam ada agenda
wajib bagi santri, yakni mengulang bacaan qur’an untuk disetorkan esok pagi
pada muhafidzoh, kami paham dengan Afifah.
Selesai membereskan piring-piring kotor, rutinitas
pukul sembilan malam saatnya memeriksa satu per satu kamar santri kecil untuk
memastikan tidak ada lagi santri yang masih keluyuran.Ada sekitar 50
santri putri yang tergabung di asrama
ini, yang dikategorikan menjadi tiga tingkatan.Usia 5-6 tahun di asrama Aisyah, 7-8 tahun di asrama Khadijah dan
asrama Fatimah untuk santri usia 9-12 tahun, terkecuali Afifah.Kami memberikan
kebijakan lain.
Aku Ranisa, terpilih menjadi musyrifah
di asrama Aisyah.Sebagai musyrifah atau pembimbing asrama, kewajibanku tidak
hanya mengajari santri dengan hal-hal baik, juga menjaga kenyamaan dan keamanan
santri.Di kobong no.1, Riska dan Helvi telah bersiap dengan selimutnya.Lanjut
ke kobong no.2, Aliana dan Resti sudah terlelap.Lalu aku lanjutkan ke
kobong-kobong berikutnya.Semuanya dalam keadaan baik.Akhirnya aku tiba di daun
pintu kobong no.9 , tempat gadis usia 8 tahun keturunan Sunda-Belanda ini
dititipkan.Mulut pintu terbuka beberapa jengkal, aku menggelengkan kepala.
“Ya ampun, Afifah kebiasaan deh
lupa tutup pintu sebelum tidur” geram hatiku sedikit kesal.
Saat
pintu kobong ku buka, Afifah tidak ada.
“Astagfirullah” aku mulai cemas.
Segera aku cek ke dapur.Biasanya Afifah minta dibuatkan susu madu hangat sebelum
tidur pada Bi Inem. Namun, Afifah tidak di sana.
“Lihat Afifah gak li?” tanyaku
pada Aliana yang sedang berada di depan kamar mandi.Santri berbadan kurus ini
menggeleng dengan datar.
Hatiku makin berdebar saat di
ruang Qur’an, pun Afifah luput.
“Ada apa amih Ranisa ?” Tanya
Bunda shinta, kepala asrama secara tiba-tiba dari balik pintu kamarnya saat kebetulan
melihatku mondar-mondar di lorong gedung seperti orang kebingungan.
“a..aaa..nu...…Afifah hilang lagi
bunda, dia tidak ada di kobongnya” jawabku sedikit gugup.
“Amih sudah cari di kamar mandi
atau ruang Qur’an?” Tanyanya lagi.
Aku mengangguk
“Yasudah amih Ranisa tenang dulu,
kita cari Afifah sama-sama,tapi jangan ribut, khawatir santri lain
terganggu.Aku cari ke sebelah kiri dan amih Ranisa cari ke sebelah kanan
asrama.gimana?” Bunda Shinta menawarkan solusi.Sedikit buatku lega.
Lalu kami pun berpisah namun
dengan misi yang sama, “mencari Afifah”. Afifah benar-benar anak spesial, sejak
kehadirannya di asrama Qur’an, sosoknya tak pernah luput dari perhatian kami.Sifatnya
yang senantiasa berubah-ubah, kadang manja,malas, namun sering pula ia menjadi
pemimpin bagi teman-teman saat moodnya sedang baik.Dia gadis yang ramah dan
rendah hati, sekalipun usianya paling tua di asrama Aisyah.Tapi Afifah tetap
pede dan tidak kecil hati, walaupun teman-teman seusia telah melampauinya ke
tingkat yang lebih tinggi, Afifah masih harus mengulang sebab tidak lulus ujian
saat kenaikan tingkat tahun lalu. Asrama ini memang spesial, siapapun, dari
latar belakang apapun dan bagaimanapun keadaan santri, selama ia memiliki
antusias belajar dan orang tua percaya dengan pelayanan yang diberikan, asrama
ini senantiasa terbuka lebar.
Teringat jelas dalam ingatanku
saat gadis kecil ini diantar kedua orang tuanya, Bapak Bachtiar dan Ibu Olive
pemilik gerai batik tulis asal Cirebon yang sukses mendobrak pasar di beberapa kota
di Indonesia bahkan sampai ke negeri tetangga, Afifah tidak sedikitpun menangis
seperti kebanyakan santri lain saat pertama masuk asrama Qur’an.Usianya masih
enam tahun kurang saat itu.Afifah harus disapih, jauh dari keluarga.
“Tolong jaga Afifah baik-baik ya
amih Ranisa , jangan bosan mendidiknya. Berapapun biaya yang Afifah butuhkan
akan saya penuhi,asalkan Afifah mendapat pelayanan terbaik dan nyaman di asrama
ini” ucap Nyonya Olive dengan berurai air mata.Melepas anak istimewa seperti
Afifah, bukan perkara mudah baginya.
Kang Bach, sapaan akrab untuk
tokoh masyarakat yang disegani yang tiada lain Ayah Afifah tetap dalam
kebisuan, tampak jelas ketegangan di antara kedua pasang suami istri yang telah
mengarungi biduk rumah tangga selama lebih dari sepuluh tahun ini.Bach mencoba
tegar,namun urat-urat di lehernya seakan berbicara bahwasanya hati kecil iapun
sedih melepas si sulung.
Lalu bayang itupun memudar,
menyisakan titik-titik perih sekaligus kagum akan ketabahan Afifah.Malam ini,
kembali aku dibuat khawatir olehnya.
“Afifah… Afifah.. kamu dimana
sayang?” kataku memanggil-manggil dengan suara sedikit ditahan agar tidak
membangunkan santri lain.Sementara mataku tak henti mencari-cari ke
sekitar.Berharap Afifah segera di temukan.Sudah setengah jam lebih belum ada
hasil dan aku hampir putus asa.Tiba di
depan gerbang kiri asrama, pun Afifah belum kelihatan.Tapi rasanya tidak
mungkin Afifah pergi keluar, toh gerbangnya sudah di kunci rapat dari waktu
maghrib pula.Lalu aku putuskan untuk kembali ke kobong no.9.”Mungkin Afifah
cuma keluar sebentar” pikirku.
Saat melewati taman belakang.Mataku
menangkap bayang sosok berbaju merah yang tengah asyik bersenandung memandangi
langit malam sambil menikmati suasana syahdu tetesan air mancur yang jatuh
beriringan menghujam batu-batu kecil di bawahnya.
“na,….nana…na..”
Aku menghembuskan nafas lega.
Lekas ku hampiri sosok kecil nan
manis itu.”Afifah sayang…” kataku langsung merangkul tubuhnya yang koyak
diterpa angin malam.
“A…ammihhhh” jawabnya membalas pelukanku
dengan kecupan manis di pipi.
“Kamu ngapain disini sayang? Ini
udah malam, amih Ranisa dan bunda Shinta panik mencari kamu loh.ayo bilang sama
amih, Afifah kenapa malam-malam gini ada di luar ?” ucapku.Aku menggemas
pipinya dengan lembut.Gadis kecil ini menatap nanar mataku, tersipu lalu kemudian
wajahnya yang polos berubah murung, sambil mendongkak ke langit, mata terpejam
bak bidadari tengah memanjatkan do’a untuk bisa kembali ke kahyangan.
“a..a…fi…fah ka..kangen… ma..ma…
papa… aa…miihhh” katanya polos, lalu merangkul tubuhku dengan erat. Dari sorot
matanya aku menemukan binar penuh arti.Afifah kesepian.Yaa… aku tahu itu.
“Ini apa sayang?” kataku mencoba
mengalihkan perhatian, mencoba menghiburnya agar tak lama larut dalam kesedihan.
“wah bagus banget kainnya, pasti belinya di luar negeri ya.Amih yakin ini
harganya mahal kan?..hehe.. “.Afifah tersenyum ketika aku memuji selendang
kesayangannya.
“In..ini… ba..batik me..ga
mendung aa..miih.. “ ujarnya dengan sedikit terbata-bata, “aku dannn ..ma..mamaku
ya..ng.. buat ..ini sebelum ..akk..ku didi..di asrama amih” lanjutnya.
Oohhh.. aku merasa bahwa semakin
hari ikatan batin Afifah dan ibunya makin kuat.Sifat dan kecerdasan Olive menuruninya.Pantas
saja Afifah begitu pandai menggambar.Terutama gambar-gambar abstrak, yang
ternyata setelah aku pahami itu ialah motif batik.Megamendung seperti yang
Afifah katakan.
xxx
“Pah… kapan kita jenguk Afifah..”
Suatu sore di balik rumah
minimalis bergaya rumah khas sunda namun eksotik arsitektur Belanda kental di
dalamnya.Seorang wanita bertanya pada lelaki yang sangat di hormatinya.
“pah.. kapan??” lanjutnya,saat
pertanyaan pertama tak berakhir dengan jawaban.
Bachtiar segera mereguk wedang
jahe yang masih tersisa di cangkirnya.
Setelah habis iapun meletakkan
cangkir itu di atas meja siku-siku berwarna coklat mengkilat.Lalu menghampiri
wanita yang dikasihinya itu, Olive menggeser dingklik, tempat duduk saat
membatik agar lebih dekat dengannya.
“Tiga bulan lagi, saat Afifah
kenaikan kelas” ujar Bactiar dengan tenangnya.
Olive berubah murung, menatap
lekat mata suaminya.Gurat hitam menggarisi matanya yang kebiru-biruan, entah
karena terlalu sering menghabiskan malam mengerjakan pesanan batik tulis atau
karena kurang tidur memikirkan Afifah dan perseteruannya dengan Bachiar.Bagaimana
tidak, perasaan hati wanita mana yang tidak membatin saat harus terpisah jauh
dari buah hati yang dikasihinya, bukan karena ingin memanjakan, namun Afifah
terlalu spesial baginya, dia butuh perhatian lebih daripada anak-anak normal
pada umumnya.
“aku sudah tak kuat menahan rindu padanya pah,
dia pasti kesepian di sana. Biarkan dia pulang, aku ingin memeluknya setiap
saat,menjaganya sebagai bentuk syukur atas karunia Allah yang begitu luhur ” lalu airmatapun tumpah tak terbendung lagi.
“Dia akan baik-baik saja di sana”
bachtiar mencoba menghibur istrinya.”kamu tak usah cemas” lanjutnya.
“Dia yang akan baik-baik saja
atau kamu yang senang dan bebas tidak mendengar cemoohan orang-orang.kamu malu
kan kalau Afifah ada di rumah ini pah” ujar Olive dengan nada meninggi.
Bachtiar terperanjat dengan
ucapan Olive, tidak seperti biasa olive meninggikan suara saat berhadapan
dengannya.
“Kamu menyesalkan kan punya anak
yang berkebutuhan khusus.yah.. aku ngerti, dimatamu dia memang tak berguna, tak
ada harganya.Tapi ingat pah, dia tetap anak kita.Dia amanah Allah yang harus
kita syukuri, pun dia punya hak yang sama seperti Bani dan Azam” Olive
memanas.Bachtiar mengepalkan tangannya, suasana berubah menjadi tegang.Petang
itu, gelas kaca menjadi saksi.Bahwa purnama tak selalu bersinar dalam kehidupan
ini, benarkah semua ini karna Afifah?? Haruskah Afifah bertanggungjawab atas
pertengkaran kedua orangtuanya??
“STOP…. Kamu takkan pernah
mengerti”
Bachtiar berlalu dengan
kemarahan.
xxx
Pagi hari.
“Anak-anak seminggu lagi kalian
akan menghadapi pekan ujian.Ada banyak ujian dan lomba yang akan kalian ikuti
untuk menilai sejauh mana perkembangan kualitas diri kalian setelah belajar
selama satu semester ini, ibu harap kalian lulus semua, jadi persiapkan diri kalian sebaik-baiknya,
terutama anak-anak di asrama Aisyah.Kalau kalian sudah lancar membaca iqro,
maka akan lanjut belajar Al-qur’an” penuturan Bunda Shinta dalam pidatonya pagi
itu.
Lalu suasana pun berubah menjadi
ricuh. Suara huuuhhh terdengar dari mulut-mulut santri yang tidak suka dengan
kata “ujian”.
Tiba-tiba dari tengah barisan,
suasana mendadak ramai.Seorang santri bernama Rima berlari ke depan kepala
asrama dengan tergopoh-gopoh “ Bunda, Afifah pingsan lagi.Badannya dingin dan
kejang-kejang”
Semua pengajar langsung
berhamburan ke tengah lapang.Afifah sudah tergeletak di atas lantai lapangan.Lalu
kami membawanya ke ruang UKS.
Selaku
musyrifah sekaligus tutor Afifah, aku sudah biasa dengan hal-hal seperti ini.Pernah
suatu ketika, saat aku sedang mengajarinya mengaji.Tiba-tiba Afifah berhenti
bersuara, matanya kosong dan badannya dingin.lalu ia rubuh tak sadarkan diri.Nyonya Olive secara
diam-diam sering menelponku, darinya aku tahu keadaan Afifah.Afifah berbeda, perkembangannya
sangat lambat dibanding teman-teman seusianya.Namun aku sangat bersyukur,karena
dengan kehadirannya senantiasa mengingatkan kami untuk selalu bersyukur atas
segala nikmat-Nya, Dzat yang Maha Sempurna atas hamba-hambanya yang jauh dari
sempurna.Saat orang-orang memandangnya sebelah mata, namun dari tangan
kecilnyalah lahir seni batik yang unik untuk anak seusianya.
Afifah kecil kami ialah skenario
Tuhan yang terindah.
Lima menit berlalu, lamunanku
tergubris saat kurasa jari-jari kecil Afifah bergerak perlahan di dalam
genggaman tanganku.
“Sayangku”..
Afifah membuka matanya dengan
malas.
xxx
“Siallll… penjualan enam bulan
terakhir ini terus melonjak turun”
Bachtiar melempar lembaran kertas
berisikan laporan keuangan tepat ke
depan mata kaki olive saat ia berjalan ke arah suaminya.Olive mengambil kertas
itu, lalu mengamatinya baik-baik.
“Setahu aku, produksi batik tulis
kita terus meningkat pah” ujar olive menanggapi.
“Tapi kenyataan di lapangan,
batik kita mulai banyak ditinggalkan.Pelanggan dominan memilih batik cetak yang
beredar di pasaran yang lebih variatif dan murah” ucapnya dengan nada kesal.
“Mungkin
kita harus menurunkan harga jual dan mengurangi biaya produksi pah” Olive
mencoba berpendapat.
“Itu
tidak mungkin, biaya produksi yang dikeluarkan sudah sesuai dengan kualitas
batik yang diproduksi, kita hanya perlu lebih kreatif dan inovatif, pelanggan
butuh nuansa baru untuk corak batik megamendung yang banyak beredar” Bach
menuntaskan argumennya.Olive merenung.
“Pah,
bagaimana dengan Zakat, infaq dan shodaqohnya,
sudah kamu tunaikan?”
“
Sudah” jawab Bach tegas,”kamu tak usah khawatir, rezeki yang kita makan insya
Allah halal, kita telah mengeluarkan hak orang lain atas harta yang didapat”
tambahnya.Bach seolah membaca apa yang terpikir di benak Olive.
Secara
tiba-tiba olive berkata.
“Sudah..?”
“Kamu
yakin?”
Bachtiar
mengangguk iya.
“Lalu
bagaimana dengan Afifah? Apa kamupun telah menunaikan haknya?”
Bachtiar
terdiam.
“Apa
hubungannya penjualan batik dengan Afifah?” Bachtiar kaget dengan pertanyaan
yang ini.
“Sikap
kamu terhadap Afifah, mungkin salah satu penyebabnya pah. Kurasa ada campur
tangan Allah atas hambanya yang menutup hati akan kenyataan yang tak
disyukurinya”
Bachtiar
menghela nafas panjang.Sementara olive tampak memerah matanya.
“Afifah
butuh belaian kasih sayang kita pah, terlebih kamu.Dia menginginkan kamu.Afifah
terluka saat kamu tak mau mengakui dia anakmu di hadapan banyak orang.Tidakkah
kamu pahami.Batik megamendung kita menurun, bisa jadi itu adalah cerminan
perasaan Afifah atas perilaku tidak adilmu” Olive kini mulai berani meluapkan
ganjalan di hatinya.
Tiga
hari berlalu
Sebuah
kiriman pesan terlampir di inbox email Olive.Dari amih Ranisa.
Bunda Olive ini gambar motif batik terbaru
hasil lukisan Afifah : )
Ia bilang ini hadiah untuk mama dan papa.
Olive
tersenyum karenanya, seakan mendapat suntikan semangat baru.Lekas diambil kain
mori yang menggantung di gawangan, lalu mulai merangkai garis-garis mengikuti
gambar yang terpampang di layar laptopnya.
Berjam-jam Olive duduk di depan kompor
tempat memanaskan tinta.Mulai melukis sedikit demi sedikit Proses Ini butuh
waktu lama untuk menghasilkan batik
kualitas baik.
xxx
Bach
masih merengut di balik kamarnya yang berhiaskan kayu.Bani dan Azam sedang
belajar menggambar.
“ah
masih bagusan gambar batik yang dibuat kak Afifah” celetuk bani pada gambar
yang sedang dibuat azam.
“iyalah…
kak Afifah kan emang udah jago” jawabnya ketus.
“coba
kalau kak fifah ada disini ya.kita kan bisa diajarin gambar” lanjut Bani
Obrolan
kecilpun berlangsung, rupanya Bach diam-diam mendengarkan.dihampiri kedua anak
lelakinya, bach tertarik dengan selembar kertas HVS bergambar batik.
“ini gambar
punya siapa Bani, Azam?” Tanya Bach.
Bani
dan azam saling melirik.
“kak Afifah
pah” jawab mereka kompak.
“kapan
Afifah gambar ini?”
“Mama
yang print, dikirim sama amih Ranisa via email mama.. bagus kan pah?” goda
bani..si bungsu ini amat kehilangan saat Afifah harus diasramakan.Banilah yang
paling dekat dengan Afifah, dia yang selalu membela jika ada anak-anak iseng
yang mengejek Afifah”
“sana
pergi kamu, jangan ganggu kakakku, dia terlalu baik buat kamu jahatin” bela
Bani disaat Afifah terpojok.
Bach merenungi omongan kedua putranya.kemudian
berlalu mencari Olive.Saat ditemuinya di ruang khusus tempat dimana Olive
menghabiskan hari-harinya berimajinasi dengan hobi membatik yang sekaligus
menjadi penonggak kehidupan keluarga mereka sekarang.Olive rupanya menyadari
kedatangan Bach di ruang yang cukup luas itu.
Masih
dengan canting ditangannya, Olive melayangkan senyum.
“Pah
lihat deh.. bagus ga?, aku baru menemukan ide nuansa baru untuk batik kita”
Bach
tersipu,
“Ide
kamu atau idenya Afifah..hmmmm” godanya. Lalu keduanya pun tergelak.
“Kita
harus berterima kasih pada Afifah pah, karenanya aku semangat membatik lagi” Olive
bahagia.
“iya
pasti itu, bagaimana kalau kita jenguk Afifah minggu depan?, untuk berterima
kasih sekaligus nunjukin batik yang kamu buat” Bachtiar menyunggingkan senyum.
Olive
menyandarkan kepalanya di bahu Bachtiar, ada nuansa haru yang tak ia rasakan
selama bertahun-tahun.Haru karena bahagia tentunya.
Selang
beberapa menit, handphone Olive bordering.
Amih Ranisa
memanggil.
xxx
Sejak kejadian pingsannya Afifah di lapangan waktu
itu, kesehatan Afifah semakin menurun dari hari ke hari.Badannya sering
tiba-tiba mendadak panas, tapi tiba-tiba juga pulih kembali.
Pengajar di asrama sudah beberapa kali memberi kabar
pada Nyonya Olive, namun jawabannya sama.Bachtiar selalu punya beribu alasan
untuk menunda kedatangannya.
Sore itu setelah tes bacaan, Afifah mendadak
kejang-kejang.Seisi asrama panic dibuatnya.Padahal selagi tes Afifah baik-baik
saja.Malah sering mendapat pujian, karena perlahan Afifah mulai lancar membaca
iqro.Terlebih saat dua hari lalu, ia menjuarai lomba kaligrafi, perpaduan
antara seni kaligrafi dengan seni batik tulis yang dibuat Afifah memberi nuansa
baru yang berbeda.Bahkan seorang kolektor barang antik asal negeri Jiran saat
mengunjungi anaknya di asrama itu berani menawar lukisan kaligrafi Afifah dengan
harga yang funtastik, namun Afifah tidak mengijinkan dengan alasan lukisan itu
untuk kado pernikahan orang tuanya.
Tidak ada pilihan lain.Afifah pun segera dilarikan
ke rumah sakit.
Dua jam
berlalu tanpa terasa.Afifah berada di UGD tanpa penanganan khusus, Dokter tidak
berani mengambil tindakan sebelum ada persetujuan orang tua pasien. Pengajar
dan beberapa teman Afifah menanti dengan cemas.Kami tak henti-hentinya berdoa
demi kesembuhan Afifah.Semua karena kami sayang Afifah.
Selain anak berkebutuhan khusus,
Afifah menderita epilepsi bawaan,itulah penyebab kenapa dia sering tiba-tiba
pingsan dan kejang.Aku telah berusaha membujuk Bachtiar agar membawa Afifah
pulang .Namun selalu gagal.Kurasa Bachtiar malu memiliki anak cacat seperti
Afifah.Karena yang terlihat di mata Bachtiar, hanyalah kekurangan Afifah.
Dari lorong rumah sakit tampak
sepasang manusia datang dengan tergesa-gesa.
“Ibu Bapak
harus segera menghadap Dr.Nirwan di
Ruang Melati” ujar amih Sarnia dengan tidak sabar.Mereka segera menurut.Baru
beberapa langkah keduanya berlalu, tiba-tiba suster keluar dari kamar tempat
Afifah berada.
“Sudah
ada keluarga pasien?” Tanya suster.
Bach dan
olive yang mendengar perkataan suster, segera berbalik dan menghampiri.
“Saya
ibunya suster” Olive dengan gelisah.Lalu mengikuti suster masuk ke dalam
ruangan diikuti yang lain.
Wajah cuek Bachtiar lumpuh saat itu juga.Gurat
kesombongan yang membalut figur ayah dimata Afifah, berubah seketika bagai
pungguk yang mengharap belasan maaf sang bidadari.Siapapun, sekeras apapun hati
seorang manusia, saat ditampakkan di depan mata seorang anak berwajah manis
tengah sekarat, sungguh ironis jika ia tak luluh dibuatnya.Mata Afifah melotot,
menatap kosong sekelilingnya, namun dari bibirnya yang tipis, begitu banyak
kata yang ingin ia sampaikan.
“mama…
papa…. Ma..af.., “ ucapnya dengan samar.
Derai
tangis pecah saat itu juga, Bachtiar yang tak sanggup lagi menahan gejolak
penyesalan itu, luluh dihadapannya.
“Maafkan
papa sayang, maaf.kamulah anugrah terbesar ciptaan-Nya.Uhibbuki fillah Afifah, nikmat
Allah tak hingga dengan hadirmu” Bactiar menangis dan terus memeluk Afifah,
dengan perasaan sesal membungkus.
Olive tetap dengan tangisnya.Aku
mencoba menenangkan, walau begitu sesak di hatiku menyaksikan keharuan keluarga
ini.
Tiba-tiba
nafas Afifah sesak,lama kelamaan semakin tak beraturan.suster menyarankan agar
beberapa orang keluar lalu memanggil dokter.
Bachtiar, olive dan aku tetap berada
disampingnya.Afifah semakin tidak terkendali, badannya menggeliat menahan sakit.Matanya
terpejam.kami mencoba membisikkan lafaz syahadah.Afifah mengikutinya dengan
baik.
“lailahailallah…..”
pelan dari mulut kecilnya.
Nafas Afifah berangsur tenang,
santai. lalu berakhir dengan senyuman manis di bibirnya.kami terpaku, saat
nafas terakhir Afifah dihembuskan.
Innalilahi
wainna ilaihi rojiuun….
Afifah menutup matanya dengan tenang,
menginggalkan karya dan dekap syukur yang mengalun sepanjang hidupnya.Dan
sehelai kain batik menjadi bukti.Membuka mata hati kami akan Kebesaran-Nya,
bahwa tiada yang sempurna melainkan Dia, Allah.Kepada-Nya lah nikmat syukur
terlantun penuh do’a.