“Namiraaa…. Namiraa…“
Seorang
wanita dengan langkah tergesa mengusik riuh sorak tawa anak-anak di tengah
tanah lapang yang luas. Wajahnya tak bersahabat, kain rok yang membalut tubuh sintalnya tak urung Ia gulung agar langkahnya lebih
cepat.Gadis kecil yang disebut namanya itu segera meletakkan mainan yang amat
dibenci sang Ibu.
“Harus berapa kali lagi ibu bilang Mira, anak
perempuan jangan main layangan. Mau dihukum gimana lagi hah.. gak kapok ya?”
dengan gemas Ibu menjewer kuping Namira, spontan gadis enam tahun ini mengaduh
seraya memohon ampun. Ayah yang juga berada di sana bersama kedua kakak Namira,
Rasyid dan Adam segera mendekat.
“Sudah..
sudah… Ibu jangan keterlaluan, Namira kan hanya main layangan, bukan bertengkar
atau mencuri. Kenapa harus dijewer? Lepaskan !” belanya sambil merebut paksa
Namira. Tak terima Namira mendapat pembelaan, Sulastri semakin menjadi aralnya.
“Ayah ini gimana sih? Namira kan anak perempuan, harusnya ada di rumah bantu
pekerjaan Ibu. Bukan main bercampur sama anak lelaki!”
“Namanya
juga anak-anak Bu, biarkan dia menikmati masanya” tukas Teuku, tak ingin
perdebatan dengan istrinya menjadi tontonan anak-anak lain, Ia segera meredakan
suasana, dipanggilnya kedua kakak Namira, Rasyid dan Adam untuk pulang. Petang
membayang meneduhi iring-iringan keluarga kecil ini kembali ke peraduan dalam
diam hampa kata.
Namira
kecil selalu ingin tahu, aktif dan cerdas. Namun dibalik segala kelebihan yang
dimiliki Namira mengundang kekhawatiran Sulastri sebagai Biyang yang
melahirkannya, Ia takut Namira tumbuh melebihi kemampuan kedua kakaknya.
Di
tengah makan malam. “Kenapa hanya Namira yang gak boleh main layangan ?” Namira
kembali teringat kekesalannya sore itu. Celotehnya mengusik kebisuan. Ibu
menaruh sendoknya di samping piring. Menyudutkan Namira dengan tatapan tajam. “Karena
kamu anak perempuan, gak baik melakukan permainan anak lelaki” ucap Ibu.